lover

“Ayo minta maaf, Nan, Jih.”

Hainan menatap Jihan lurus, sementara Jihan jelas membuang pandangannya sejauh mungkin.

Keadaan ruangan berukuran 3 x 4 itu cukup panas, padahal cuaca desa seminggu terakhir selalu mendung, bahkan berkabut. Sudah dua jam mereka bersepuluh duduk di ruang tengah, namun tidak kunjung muncul penyelesaian. Tidak ada yang mau kalah dan tidak ada yang mau sudah.

Read more...

“Ngga bisa gitu, El. Agenda marah-marah di ospek kita tuh bukan agenda utama. Jujur gue sendiri kurang suka sama adanya sesi marah-marah di ospek, yang tanpa sebab ya. Kesannya jadi kayak bales dendam doang karena kita dulu juga digituin sama kakak kelas kita.”

Suara Abas menggema di rapat besar OSIS diikuti dengan beberapa anggukan anggota OSIS. Matanya tajam menatap ke arah Arfael yang tampaknya mulai emosi. Perdebatan antara ketua OSIS dan ketua pelaksana ospek ini bukanlah kali pertama, namun bukan juga yang paling fantastis. Beberapa anggota meyakini bahwa Abas dan Arfael masih bisa berdebat lebih fantastis lagi di kemudian hari.

Read more...

“Aku tadi bagus ngga?” tanya Sunghoon tiba-tiba. Ia memalingkan wajahnya dari setir mobil, menunggu jawaban dariku.

“Kamu selalu bagus. Dari dulu kan aku selalu bilang—ralat, semua orang selalu bilang penampilan kamu paling bagus.”

Sunghoon menekan pedal gas perlahan, namun wajahnya tak lepas menatapku. “Are you okay?”

“Ada masalah apa emangnya?” tanyaku balik. Aku memilih untuk melihat ke jalan raya dibanding harus balik menatapnya.

“Maaf maaf, aku ngelantur.”

Aku menghela nafas panjang selagi Sunghoon menatap jalanan di depan. Entah mengapa aku selalu benci ketika ia mengkhawatirkan hal itu, walau hanya sekadar bertanya apakah diriku baik-baik saja, aku tetap tidak suka. Mungkin juga itu satu-satunya hal yang tidak kusuka dari dirinya.

Sepuluh tahun—mungkin, bisa kurang atau lebih—tidak lantas membuatku lupa begitu saja, aku masih ingat jelas bagaimana kaki perempuan itu menyandung kakiku saat latihan hingga cedera berat. Mulai hari itu, aku resmi pensiun menjadi ice skater, bahkan ketika aku belum memulai seutuhnya.

Aku murung luar biasa. Bagaimana tidak? Berlenggang di arena, menari-nari di atas hamparan es dengan baju cantik dan sepatu menawan benar-benar impianku saat itu. Aku turut menghempaskan cita-cita terbesarku, menjadi satu dari puluhan pemain pertunjukan ice skating kartun populer, Disney on Ice.

Sejak hari itu, Sunghoon selalu bilang bahwa ia akan jadi yang terbaik di arena. Namaku juga selalu ia sebut saat pidato kemenangan, bahkan tak jarang Sunghoon menginapkan tropi dan medalinya di rumahku untuk beberapa hari.

“Besok jadi nonton aku perform kan? Aku jemput jam dua, ya.” katanya lagi.

“Cepet banget. Bukannya kamu tampil jam tujuh?”

Sunghoon tertawa kecil, “Kamu dijemput duluan ngga apa-apa kan? Nanti aku drop kamu dulu. Abis itu aku jemput Mawar.”

“Aah, Mawar.” Aku mengangguk paham lantas menggigit bibir bawahku. Katanya itu mampu menahan air matamu agar tidak jatuh.

“Ngga apa-apa kan?”

Aku enggan menjawab, bibirku punya tugas yang lebih penting dibanding menjawab pertanyaan yang tak pernah aku sukai.

“Lah? Kok nangis

“Sini.” tutur Hafidz pelan sembari menepuk bagian kasur di sampingnya.

Maya menggeleng.

“Yaudah, nanti ada setan di situ. Di pojok, di belakang lo persis.”

“Apis jangan gitu ih.” protes Maya.

“Makanya sini, sayaaang.”

Mengalah, Maya beringsut dari sofa di pojok ruangan ke sebelah Hafidz. Hafidz mengubah posisinya, mempersilakan Maya untuk meletakkan kepala di pangkuannya.

“Kita harus ngapain ya?” tanya Maya bingung. “Lo udah nanya Mahes?”

Hafidz menggeleng.

“Ngitung amplop aja yuk. Gabut.”

“May, udahan yuk 'lo-gue'nya?” Hafidz bertanya selagi membelai rambut Almaya pelan.

“Kenapa gitu?”

“Ngga papa sih, cuma kan kita udah nikah. Kalo pake 'lo-gue' terus-terusan takutnya ntar orang ngiranya kita kumpul kebo.”

Maya terkekeh. “Asal banget dah.”

“Bercanda sih hehe, tapi mau kan?” ajak Hafidz.

“Yaaaa mau-mau aja sih, tapi udah kebiasa gitu, Pis. Kayak udah keseringan pake 'lo-gue' terus tiba-tiba pake aku-kamu, aneh ngga sih?”

“Ngga papa, gue—eh aku juga belom kebiasa. Kita belajar sama-sama aja.”

“Oke, deal.”

Berapa belas detik kemudian, kamar itu hening kembali. Keduanya ini benar-benar tidak tahu harus apa kecuali Hafidz yang sedari tadi tidak berhenti mengelus rambut Maya.

“Kamu ngga nanya Tasya emang?” Hafidz membuka pembicaraan.

“Nanya apa?”

“Waktu kelar nikahan sama Mas Bulan ngapain aja.”

“Aku ngga se-kepo itu juga sih..” kilah Maya.

“Tasya juga ngga ngasih wejangan apa-apa gitu?”

Maya menggeleng lagi. “Ngga, dia bilang istirahat aja.”

“Yaudah, mau tidur?” tukas Hafidz.

“Belom ngantuk sih.”

“Aku matiin lampunya aja ya? Biar kamu tidur. Capek kan bangun dari jam tiga subuh?”

Glek, Maya menelan ludah cemas. “Ngga usah dimatiin ngga papa.”

“Lah? Kamu kan ngga bisa tidur kalo lampunya nyala?”

“Ya-yaudah matiin aja deh. Aku nyoba tidur.” kilah Maya pasrah.

Hafidz bergegas menuju saklar dekat kamar mandi, lalu mematikan lampu utama. “Eh, gelap banget ya ternyata. Hehe.”

Entah mengapa tiba-tiba Maya berkeringat dingin, bahkan detak jantungnya semakin cepat seraya Hafidz naik ke atas kasur, berbaring di sebelahnya. Ditambah lampu yang sama sekali tidak temaram, ia memilih untuk menutup matanya.

“AAAAAH!” . . . . . . . . . . . . . . . “APIS JANGAN NINDIHIN RAMBUT GUEEEE, SAKITTTTTT. MINGGIRRRRR!!!!!”

Sarah tidak lekas mandi setelah diantar Rega menuju kamarnya. Wajah sembabnya pun tak kunjung ia basuh. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bagaimana ia dapat menghubungi mantan suaminya segera.

“Gimana? Dapet nomernya?” sambut Sarah.

Dapet, bu. Katanya ini nomor paling barunya, semoga aja bisa dihubungi ya, bu.” seru seseorang di ujung telepon.

“Tolong kirimin ke saya ya, sekarang juga. Makasih, kamu boleh istirahat.”

Read more...

Maya terduduk di pinggir ranjang. Ritme napasnya tidak beraturan, tubuhnya jelas menunjukkan bahwa ia gelisah. Sudah sebulan lebih ia berusaha mencari informasi tentang keberadaan ayahnya. Sayang, hasilnya nihil, bahkan hingga malam sebelum ijab kabul dilaksanakan.

“May, makan dulu plis.” pinta Inas yang sedari tadi menyodorkan kotak makan.

“Iya ih, makan dulu. Lo boleh sedih, tapi harus tetep makan lah.” imbuh Tasya. Wajahnya tampak cemas.

Read more...

Langit di pekarangan kantor radio mulai redup diikuti angin yang berhembus seenaknya. Cuaca seperti ini memang nyaman untuk berdiam diri dan mencari perlindungan hangat sebelum hujan badai menerpa.

37.544500, 127.044444 20240606 17.00

Read more...

“Maaf bu, Apis belom bisa pulang kayaknya.”

“Ulang tahunmu loh le, mosok dua kali ulang tahun ngga dirumah. Dua kali ulang tahun, hampir dua kali lebaran juga.”

“Bu, Apis juga maunya mah pulang, tapi kerjaannya padet banget, bu. Apis juga kangen sama Ibu-Bapak, Apis juga mau liat Kak Dila sama Abang, Apis juga pengen meluk Abas lagi.”

Read more...

“Gimana, asik divisi lo?” tanya Rega di sela istirahat makan siang.

Ia dan Rega duduk di bangku panjang warung mie ayam di samping kantor. Hari pertama, ia tidak mau foya-foya. Semangkuk mie ayam dan sebotol teh kemasan menurutnya sudah cukup mengisi hari pertamanya.

Read more...

Asap dari lilin ulang tahun berbentuk angka tujuh belas itu berhembus diiringi oleh tepuk tangan yang meriah. Yang meniup kini tersenyum lebar, sebesar tiga jari sambil membenahkan topi kerucut yang ia gunakan. Duh, sebenarnya ia tidak ingin menggunakannya karena ia akan terlihat konyol di hari ulang tahunnya, tapi demi menyenangkan orang-orang di hadapannya maka ia dengan senang hati mengenakannya.

Read more...