Neocity Radio

“Gimana, asik divisi lo?” tanya Rega di sela istirahat makan siang.

Ia dan Rega duduk di bangku panjang warung mie ayam di samping kantor. Hari pertama, ia tidak mau foya-foya. Semangkuk mie ayam dan sebotol teh kemasan menurutnya sudah cukup mengisi hari pertamanya.

“Asik sih, langsung cair gitu. Lo gimana?”

“Asik juga. Ada cewe cakep.” kekeh Rega.

Maya memicingkan matanya tajam. “Inget Inas, Re.”

“Si Inas ngga jelas, May. Capek.”

Kalau dua mangkuk bergambar ayam jago tersebut bisa tertawa, maka pasti ia akan ikut tertawa bersama Maya di siang ini. Rega ini memang kerap dipanggil sad boy oleh teman-temannya, ketika yang lain lancar-lancar saja tentang cinta (kecuali Maya dan Apis), ia masih terjebak di cinta masa SMAnya. Naasnya lagi, Inas, si mantan Rega seperti mau tak mau dengan Rega.

“Jangan ngetawain gue ya, kisah cinta lo juga naas.” cibir Rega. Ia tidak mau sedih sendirian.

Maya tertawa pahit. Ia jadi ingat lagi kalau Hafidz menggantung pesannya (lagi) setelah ia mengabarkan berita tentang dirinya.


Satu tahun pertama terlewati.

Rasanya waktu berlalu begitu cepat bagi Maya maupun Rega. Menurut mereka, baru saja rasanya waktu itu masuk sebagai anak baru yang tidak tahu apa-apa, tetapi siang ini, mereka sudah mencapai tahapan rapat akhir penyempurnaan program baru yang akan mereka garap di Neocity Radio.

“Maya, kamu latih terus ya chemistry kamu sama Isan. Dikuatin lagi Perlu banget loh itu buat penyiar supaya nanti waktu siaran udah klop tektokannya.” ujar Mas Candra, si Program Director.

Maya dan Isan sama-sama mengangguk paham walaupun yang satunya terlihat mengangguk lebih lemas dibanding yang satunya. Di program baru yang akan disiarkan setiap jam delapan sampai jam sembilan malam setiap hari Senin-Rabu ini, Maya dipasangkan dengan seniornya, Isan sebagai penyiar, sedangkan Rega bertugas menjadi salah satu tim produksinya.

Isan ini orangnya asik kalau kata Rega, bahkan mereka sering pergi untuk sekadar makan roti bakar bersama. Katanya, obrolan Isan asik dan menarik, seperti tidak ada celah untuk berhenti. Lain kata Rega, maka lain juga kata Maya. Menurut Maya, Isan membosankan dan pembicaraannya selalu mengarah ke hal-hal yang tidak ingin dia bicarakan.

“Contoh dia selalu nanya-nanya hal yang ngga pengen lo obrolin tuh apa sih, May? Gue ngga ngerti deh. Did he told you something inappropriate? Kalo iya biar gue tonjok aja si Isan.” tanya Rega saat mengantar Maya pulang setelah rapat berakhir. Padahal, Mas Candra sudah menyuruh Maya untuk pulang bersama Isan, tetapi Maya mati-matian menolak dengan berdalih perutnya melilit.

“Bukan mesum, Re. Cuma ya pertanyaannya ngga nyaman aja buat gue.”

“Contohnya?”

“Dia nanyain status terus-terusan, cita-cita gue pengen nikah kayak apa, pengen punya anak berapa, terus kalo pacaran sukanya pergi kemana aja.” jelas Maya berapi-api.

“Normal ngga sih itu tuh, May? Namanya juga lagi bangun chemistry, mungkin dia lagi nyoba untuk kenal lo lebih jauh lagi.” balas Rega.

“Bangun chemistry sih bangun chemistry, tapi nanyanya itu loh ngotot banget. Gue ngga suka ditanya-tanyain begitu.”

“Lah, perasaan dia kalo ngobrol sama gue asik-asik aja dah. Nyambung gitu.”

“Gatau, aneh. Gue ngga nyaman.” ujar Maya gusar. Matanya sedari tadi menatap gawainya tak henti-henti, lebih tepatnya menatap satu laman pesan yang tak kunjung kembar centangnya.

Rega yang sadar dengan perilaku Maya buru-buru memutar volume lagu di mobilnya agar Maya lebih nyaman menggerutu. Rega tahu, sahabatnya sedang menunggu balasan dari sahabat yang lainnya. Sudah hampir delapan bulan mereka berjauhan, namun si 'nun-jauh-disana' memang minim kabar. Dari cerita Maya, dalam waktu sebulan hanya terkirim sekitar lima buah pesan dari Hafidz. Bahkan, waktu Maya memberi tahu Hafidz bahwa ia sudah dapat pekerjaan, butuh waktu seminggu lagi bagi Hafidz untuk membalasnya. Memang seperti nihil usaha dari Hafidz, tetapi perasaan Maya masih sama. Ia menunggu hari yang tak pernah ia tahu kapan tibanya.


“Pulang sama siapa, May?” Isan tiba-tiba muncul dari balik pintu ruang siaran.

Maya yang terkejut dengan kehadiran Isan menjawab dengan gelagapan. “Balik sama ehmm- Rega kayaknya.”

“Rega lagi pergi sama Mas Candra. Ketemuan sama siapa gitu katanya.” ujar Isan enteng. “Balik sama aku aja, kebetulan aku mau mampir ke toko es krim yang deket rumah kamu itu.”

Maya memutar bola matanya pelaaaaan sekali agar tidak terlihat oleh Isan. Selagi membereskan tasnya, ia mengecek pesan dari Rega. Benar saja, Rega mengirim pesan bahwa ia tidak bisa pulang bersama karena harus pergi dengan Mas Candra.

“Gimana? Pulang bareng aku aja ya? Sekalian kita bonding, May. Dua minggu lagi kan acara kita mulai.” tawar Isan sekali lagi.

Maya menyerah, ia tidak punya pilihan lain selain mengiyakan, padahal jarinya sudah bersiap menekan aplikasi transportasi online. Satu, ia tidak ingin performanya debutnya sebagai penyiar kacau dan dua, ia tetap segan dengan seniornya. Isan benar-benar tersenyum lebar setelah Maya mengiyakan ajakannya. Ia berlari kecil ke ruangannya setelah meminta Maya untuk menunggu di lobi.

TINNN TINNN

Suara nyaring klakson milik mobil Isan menggelegar di depan lobi, meminta Maya untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Isan benar-benar sumringah sekali ketika Maya duduk di bangku penumpang. Matanya berbinar-binar, bahkan bibirnya tidak sempat untuk datar.

“Aku denger katanya toko es krim yang deket rumah kamu tuh enak, ya? Aku mau beliin buat adek aku soalnya, dia lagi ngidam es krim soalnya.” kata Isan.

“Lumayan sih. Adeknya hamil, Mas?” tanya Maya balik.

“Duh, udah aku bilang berapa kali sih. Ngga usah panggil aku mas, May. Panggil Isan aja ngga papa.”

Maya menelan ludahnya. Gugup. “Hehe, iya Isan.”

Btw, iya adek aku lagi hamil. Suaminya lagi jauh soalnya, jadi dia nitip-nitip ngidamnya ke aku. Temenin ya nanti, May. Kan searah.”

“Iya boleh.”

“Kamu kalo me-time gitu sukanya kemana, May?”

“Di rumah aja sih.”

“Kamu ngga suka jalan-jalan ke mana gitu? Gunung? Pantai?” tanya Isan lagi.

“Ngga suka.” Maya menjawabnya singkat.

Sungguh, ia menghindari percakapan lebih lanjut dengan Isan. Sepanjang perjalanan, Maya menunduk menatap layar handphonenya sambil mengetik pesan untuk Rega setiap lampu merah berhenti dengan rutukan. Maya yakin ketika Rega membuka pesannya pasti Rega akan bingung setengah mati.

“May, kamu yakin ngga punya pacar? Kamu ini cantik, lho. Masa iya sih, ngga punya pacar?”

Deg. Pertanyaan itu lagi. Laki-laki ini payah sekali, seperti tidak bisa mengajukan pertanyaan lain selain status.

“Mas, maaf sebelumnya. Bukannya saya lancang atau apa, tapi mas bisa ngga sih nanya selain tentang status? Saya bingung deh, emang yang nanti dibahas ketika siaran tuh melulu tentang status saya, ya? Memangnya ada pengaruhnya ya status saya apa sama masa depan program radio sampe setiap kita pergi yang niatnya untuk bangun chemistry malah selalu ditanyain begitu. Jujur saya risih, mas. Maaf kalau misalkan perkataan saya ini terkesan ngga sopan karena bagaimanapun saya tetap lebih muda dan anak baru di kantor, tapi saya rasa saya juga punya hak untuk melindungi privasi saya.” jelas Maya dengan satu tarikan napas.

Isan terdiam. Wajahnya yang tertunduk disinari bias lampu merah. “Maaf kalau aku kelewatan. Aku cuma pingin tau.”

“Saya terima permintaan maaf Mas Isan, tapi tolong turunin saya di sebrang sana. Saya lanjut pulang naik taksi aja.”

Terdengar helaan napas Isan cukup kencang sembari melepaskan rem di kakinya ketika lampu berubah jadi hijau. Mobil itu bergerak ke kiri, menepi di depan toko kopi ternama yang cabangnya di mana-mana.

“Memangnya salah ya, kalau aku cuma pingin kenal lebih dalam sama orang yang aku suka?” tangkas Isan sesaat sebelum Maya membuka kenop pintu mobil. “Aku tertarik sama kamu dari kamu masih jadi junior banget, May. Aku sampe mohon-mohon sama Mas Candra supaya bisa disatuin di satu program sama kamu, sampe akhirnya kita dapet program bareng, kita bisa bangun chemistry bareng. Aku seneng banget, kesempatan aku kenal sama kamu jadi semakin banyak. Kesempatan untuk kita bareng-bareng tuh nyata banget. Bahkan aku udah bayangin kedepannya akan gimana. Aku selalu nyempetin untuk sekadar ngobrol sama Rega supaya tau gimana kehidupan kalian. Tapi kelihatannya aku jadi salah ya?”

Maya memicingkan matanya, tangannya semakin mantap untuk segera membuka kenop pintu mobil dan membantingnya.

“Lo, serem.” hardik Maya melalui jendela mobil yang tiba-tiba diturunkan oleh Isan.

Ia segera melambaikan tangan pada taksi berwarna biru yang lewat di depannya. Dengan hati yang penuh amarah dan gemuruh, ia menyebutkan alamat tujuannya pada supir taksi tersebut.

“Neng, punten, ini radionya teh mau dinyalain atau dimatiin aja?” sapa Pak Supir setelah mengintip keadaan penumpangnya lewat spion tengah. Sepertinya Pak Supir sudah khatam dengan berbagai jenis penumpang.

“Bebas, Pak.” jawab Maya pelan. Ia memijat kepalanya sendiri. Pening.

Ah, Rega benar-benar harus membayar alpanya setelah ini.