Sudirman dan Hal yang Tidak Kusukai Darinya

“Aku tadi bagus ngga?” tanya Sunghoon tiba-tiba. Ia memalingkan wajahnya dari setir mobil, menunggu jawaban dariku.

“Kamu selalu bagus. Dari dulu kan aku selalu bilang—ralat, semua orang selalu bilang penampilan kamu paling bagus.”

Sunghoon menekan pedal gas perlahan, namun wajahnya tak lepas menatapku. “Are you okay?”

“Ada masalah apa emangnya?” tanyaku balik. Aku memilih untuk melihat ke jalan raya dibanding harus balik menatapnya.

“Maaf maaf, aku ngelantur.”

Aku menghela nafas panjang selagi Sunghoon menatap jalanan di depan. Entah mengapa aku selalu benci ketika ia mengkhawatirkan hal itu, walau hanya sekadar bertanya apakah diriku baik-baik saja, aku tetap tidak suka. Mungkin juga itu satu-satunya hal yang tidak kusuka dari dirinya.

Sepuluh tahun—mungkin, bisa kurang atau lebih—tidak lantas membuatku lupa begitu saja, aku masih ingat jelas bagaimana kaki perempuan itu menyandung kakiku saat latihan hingga cedera berat. Mulai hari itu, aku resmi pensiun menjadi ice skater, bahkan ketika aku belum memulai seutuhnya.

Aku murung luar biasa. Bagaimana tidak? Berlenggang di arena, menari-nari di atas hamparan es dengan baju cantik dan sepatu menawan benar-benar impianku saat itu. Aku turut menghempaskan cita-cita terbesarku, menjadi satu dari puluhan pemain pertunjukan ice skating kartun populer, Disney on Ice.

Sejak hari itu, Sunghoon selalu bilang bahwa ia akan jadi yang terbaik di arena. Namaku juga selalu ia sebut saat pidato kemenangan, bahkan tak jarang Sunghoon menginapkan tropi dan medalinya di rumahku untuk beberapa hari.

“Besok jadi nonton aku perform kan? Aku jemput jam dua, ya.” katanya lagi.

“Cepet banget. Bukannya kamu tampil jam tujuh?”

Sunghoon tertawa kecil, “Kamu dijemput duluan ngga apa-apa kan? Nanti aku drop kamu dulu. Abis itu aku jemput Mawar.”

“Aah, Mawar.” Aku mengangguk paham lantas menggigit bibir bawahku. Katanya itu mampu menahan air matamu agar tidak jatuh.

“Ngga apa-apa kan?”

Aku enggan menjawab, bibirku punya tugas yang lebih penting dibanding menjawab pertanyaan yang tak pernah aku sukai.

“Lah? Kok nangis