Aku Mau Satu

Maya terduduk di pinggir ranjang. Ritme napasnya tidak beraturan, tubuhnya jelas menunjukkan bahwa ia gelisah. Sudah sebulan lebih ia berusaha mencari informasi tentang keberadaan ayahnya. Sayang, hasilnya nihil, bahkan hingga malam sebelum ijab kabul dilaksanakan.

“May, makan dulu plis.” pinta Inas yang sedari tadi menyodorkan kotak makan.

“Iya ih, makan dulu. Lo boleh sedih, tapi harus tetep makan lah.” imbuh Tasya. Wajahnya tampak cemas.

Kedua teman sebaya Maya itu berdiri di depannya dengan khawatir, sementara Dila, istri Mahesa, membelai punggung Maya pelan.

“Gue ngga mau makan sebelum papa bales chat gue.”

Dila menghela napas panjang. “Ngga ada salahnya makan dulu, May. Kamu butuh energi.”

“Aku cukup energinya dari emosi kok.” bantah Maya.

Kali ini bukan hanya Dila yang menghela napas panjang, melainkan Tasya dan Inas juga menghela napas super panjang. Tabiat buruk Maya—keras kepala—ini cukup membahayakan di situasi genting. Acara akad nikah benar-benar dilaksanakan besok pagi, namun belum ada satupun makanan yang masuk ke perutnya sejak tadi pagi.

“Kak, gimana? Ini anaknya bisa pingsan kalo gini terus.” bisik Inas ke Dila.

“Iya, kak. Apalagi mamanya belom dateng, yakin deh abis mamanya dateng ini anak pasti nangis-nangis. Kalo dia ngga makan bahaya banget.” Tasya ikut menambahkan.

“Aku bingung, jujur.” kata Dila. “Aku gatel banget pengen ngasih tau Apis. Tapi kata Maya ngga boleh.”

“Kasih tau aja deh, kak. Kayaknya kalo Apis yang bujuk mempan deh.”

“Apis kalo tau panik banget tapi, Nas. Gue sih cukup ya ngurusin satu orang panik, kalo ditambah Apis yang panik gue ogah.” jelas Tasya. “Coba tunggu Kak Adit sama Rega deh, siapa tau rada mempan sama mereka. Gue ngga tega banget ngomelin Maya soalnya.”

“Makan.” titah Adit. Ia dan Rega sudah tiba sepuluh menit yang lalu, tentu saja bersama makanan-makanan yang inisiatif mereka beli supaya Maya mau makan.

“Ngga laper.”

“Ngga ada bantah.”

“Jangan maksa, Kak.” rintih Maya.

“Lo juga jangan maksa. Makan. Ngga ada yang mau liat lo sakit, Maya.” perintah Adit tegas.

Maya mengacak rambutnya, lelah. Ia enggan menyerah, namun ia benar-benar kelelahan. Ia lelah memandang gawainya seharian, menunggu balasan dari orang yang mungkin tak lagi peduli dengan apa yang ia lakukan saat ini. Ia merunduk, bahunya bergerak naik turun cepat.

“Papa ha-harus bales chat gue dulu, kak.” isak Maya, menangis lagi.

“Lo harus makan dulu.”

“Gue pengen papa ada besok, kak. Sekali aja. Gue ngga minta banyak kok, gue pengen papa jadi wali nikah gue. Itu normal, kan?”

“Gue sama yang lain pengen lo makan, Maya. Sekali aja. Gue ngga minta banyak kok, gue pengen lo makan aja. Itu normal, kan?” Adit mengulang setiap kata yang keluar dari mulut Maya. Air mukanya benar-benar tegas, tidak goyah sama sekali dengan kerasnya Maya.

“T-tapi—”

“Jangan siksa diri lo sendiri, Maya. Plis.” pinta Adit. Suaranya melemah. Rega yang berdiri di sebelah Adit mengangguk setuju.

Tanpa mereka tahu, wanita paruh baya yang baru kembali dari dinasnya memperhatikan mereka dari dekat pintu. Ia sama sakitnya dengan gadisnya yang kini terisak, ia sama menyesalnya, bahkan tak jarang ia merutuki dirinya sendiri.

“Mama..” lirih Maya.

Wanita itu tersenyum simpul. Ada luka yang ia selipkan di lengkung bibirnya. Ia segera mendekat, mendekap satu-satunya cinta yang masih hidup di dalam dirinya. “Nak, maaf..”

Yang lainnya segera menyingkir, memberi ruang untuk ibu dan anak saling berkesah.

“Ma-ma, aku cuma mau satu ma. Aku mau ada papa, papa yang nikahin aku sama Hafidz, ma. Aku cuma mau itu.”

“Maaf, nak. Maaf..”

“Kenapa aku ngga bisa kayak yang lain, ma? Kenapa aku harus selalu sendirian? Kenapa aku... Kenapa?”

Di ujung ruangan, Tasya mencengkram kemeja Adit kasar, berusaha menahan agar tangisnya tidak mengalir. Rega menunduk, ia sedikit banyak paham tentang keluarga kecil ini.

“Maaf mama ngga bisa kasih Maya kehidupan yang sempurna, maafin mama bikin Maya tersiksa bahkan sampai hari ini, yang harusnya kamu seneng-seneng.” bisik Mama Maya. Tangannya erat memeluk gadisnya. “Maaf juga mama baru datang sekarang, seharusnya mama ada sejak kemarin, nak..”

“Ma.. Maya pingin ada papa, sekali aja, ma..”

Sarah—mama Maya—menelan ludah. Ia tak ingin mengecewakan gadis kecilnya lagi setelah beribu kali ia rasa ia kecewakan buah hatinya. Tanpa Maya ketahui, Sarah sudah mencari mantan suaminya dengan cara apapun hanya untuk menjadi wali nikah Maya, namun laki-laki itu benar tak ada jejaknya.

“Mama usahain ya, cantik?” tanya Sarah.

Maya mengangguk kecil, sorot matanya sama sekali tak bercahaya.

“Mama akan cari papamu sampai ketemu, tapi sayang makan, ya? Mama lebih ngga ingin liat anak mama sakit. Mama janji akan bawa papa, mama janji ngga akan ngecewain Maya. Mama janji.”

Maya mengangkat kepalanya, menatap Tasya, Rega dan Adit yang tersisa di ruangan. Ketiganya balik menatap sendu, tanpa suara. Mungkin, malam lajang terakhirnya akan ia habiskan dengan air mata.