Teka-teki dan Jawabannya

Langit di pekarangan kantor radio mulai redup diikuti angin yang berhembus seenaknya. Cuaca seperti ini memang nyaman untuk berdiam diri dan mencari perlindungan hangat sebelum hujan badai menerpa.

37.544500, 127.044444 20240606 17.00

Pesan yang masuk ke handphone Maya beberapa hari lalu inilah yang jadi alasan utama Maya untuk pulang cepat dari kantor. Padahal biasanya ia akan dengan senang hati pulang larut malam sehingga ia tidak punya celah untuk memikirkan sesuatu yang membuatnya kalut. Biasanya ia tidak mengindahkan pesan-pesan tidak jelas yang terkirim kepadanya, namun entah mengapa pesan itu seperti menarik dan memaksa dirinya untuk mencari apa maksudnya. Pesan yang cukup singkat dengan sebuah titik koordinat, tanggal serta jam itu bisa dimengerti oleh Maya bahwa ia harus pergi ke tempat itu pada waktu yang tertera. Maya merasa tertantang, bahkan rasa takut pun ia buang jauh-jauh seakan ia siap mati apabila harus.

Sialnya, Rega tidak bisa ikut karena tiba-tiba ada panggilan kerja ke luar kota. Padahal seharusnya ia bisa duduk manis saja di bangku penumpang, sementara Rega yang menyetir.


“Lah, ini mah ke arah kampus?” batin Maya.

Genap dua tahun sudah ia tidak pernah kembali ke kampus, namun ingatannya masih baik walaupun banyak yang berubah. Keadaan jalan sore itu cukup ramai dihiasi mahasiswa-mahasiswa yang baru saja menuntaskan kelas sorenya dan hendak kembali ke kos masing-masing. Dengan tangan yang termangu di setir mobil, ia tanpa sadar tersenyum menatap gerombolan mahasiswa yang hilir mudik. Ia jelas merindukan hari-hari itu.

“Kok ngelewatin kampus ya? Ini kemana sih sebenernya?”

GPS di mobilnya menunjukkan arah ke sebuah perumahan yang tidak asing baginya. Ia masih mengingat jelas toko kelontong di tikungan yang sering ia jumpai dulu sebelum mampir ke suatu tempat.

Kontrakan cerdas.

Rumah itu masih terlihat sama setelah ditinggal penghuninya. Pagarnya masih kokoh berdiri melindungi segala kenangan yang pernah terjadi di dalamnya, teras dan taman depannya masih menyimpan bunyi peluit yang sering penghuninya tiup ketika mereka bertarung sembari menunggu penjual lontong sayur lewat, pun, pintu depannya masih mengingat jelas bagaimana waktu itu seorang bayi datang dan mengagetkan seisi rumah.

Gemuruh yang bersahut-sahutan semakin kencang menyadarkan Maya dari lamunannya. Maya terlihat ragu-ragu untuk membuka pintu depan, karena sekali ia membukanya, maka ia seperti merelakan dirinya dibawa menuju masa lalu.

“Bismillah.” ujar Maya memantapkan hatinya. Tidak dikunci?

Pemandangan yang tertangkap mata pertama kali setelah Maya membuka pintu adalah sofa ruang tengah. Biasanya, ia akan duduk disitu sambil menonton televisi atau sekadar mengobrol dengan Jidan tentang hari-harinya.

Ia bersandar pada dinding, menatap seisi ruang tengah yang masih ia ingat jelas setiap peristiwa yang pernah terjadi. Terkadang indah, terkadang riuh, terkadang tangis muncul di antaranya. Maya bisa merasakan bagaimana saat itu mereka bercengkrama bersama di ruang tengah, bahkan ia seperti dapat mendengar suara-suara penghuninya. Ia rindu.

Maya sadar matanya mulai panas hingga ia memutuskan untuk menjauh dari ruang tengah. Ia membuka satu persatu kamar yang pernah disinggahi penghuninya. Masing-masing kamar punya ceritanya sendiri, punya warnanya sendiri. Kamar-kamar itu kosong melompong, namun lagi-lagi Maya seperti bisa membawa potongan gambar yang nyata ke dalam matanya. Ia masih ingat bagaimana Nadir meletakkan speaker bentuk kotak posnya di atas meja, bagaimana Ale menempel poster radio kampusnya, bagaimana Jidan selalu menggantung tulisan don't disturb ketika sudah masuk masa pengumpulan tugas, bagaimana Rega menyimpan boneka kudanil putihnya di dekat kasur, bagaimana kamar Bagas menyiratkan cerita ia dan Hafidz, dan bagaimana Hafidz selalu menyimpan minyak angin di laci meja belajarnya.

Ah, masa-masa kuliah memang menyenangkan.

“Terus gue di sini disuruh ngapain? Ngga ada petunjuk apa-apa.” gumam Maya. Ia kembali duduk di ruang tengah setelah melihat kamar-kamar yang sudah kosong.

Biiiip-bipppp

Selamat kamu sudah tiba di tujuan. Nyalakan televisi untuk petunjuk selanjutnya.

Nomor rahasia itu kembali mengirim pesan. Maya menengok ke kanan dan kirinya, merinding. Ia segera menekan tombol merah di remote yang ada di hadapannya.

Layar televisi berukuran 28 inci yang kerap dibuat menonton bola oleh penghuni kontrakan itu kini menampilkan huruf-huruf yang berantakan. Ada yang kecil, ada yang warna merah, ada yang tebal. Maya benar-benar tidak tahu ia harus apa.

Susun huruf yang berwarna kuning.

Maya segera mengambil secarik kertas dan pulpen yang berada di depannya. Secara perlahan ia menuliskan huruf-huruf berwarna kuning yang terus bergerak di layar.

B, A, N, T, N, L, M, E, A, K, A, A, G.

Tiga belas huruf yang ia temukan masih berantakan. Artinya, Maya harus kembali memutar otak untuk menyusun huruf-huruf tersebut menjadi suatu kata yang berkesinambungan.

“Bantal?” tanyanya. “Ngga mungkin deh, emangnya gue lagi di IKEA.”

Maya benar-benar mengerahkan sisa tenaganya di hari ini untuk menyusun kata tersebut. Ia menggunakan segala cara dan upaya agar tersusun suatu kata yang masuk akal di otaknya.

“Taman belakang?” Benarkah?

Ia bergegas bangun dari tempat duduknya walaupun langkahnya pelan sekali mendekati pintu menuju taman belakang. Rasa takut dan penasaran seakan berebut untuk menyelimuti dirinya saat ini. Satu langkah ia bergerak, maka satu doa ia panjatkan. Isi kepalanya kini ramai saling menebak apakah lima detik kemudian ia tetap hidup atau berakhir naas.

Dengan keyakinannya yang matang, Maya perlahan menggeser pintu kayu tersebut. Ia benar-benar siap dengan apa yang menunggu di depannya.

“LAH?! LO NGAPAIN?!” teriak Maya sesaat ia membuka pintu menuju taman belakang. Yang diteriaki hanya tersenyum tipis.

“Hehe, maaf.”

“Dah deh, lo ngga jelas pake game-game begini gue kayak ikut persami. Ini sebenernya apa sih?”

“Merem deh.” pinta orang di depannya.

“INI GUE MAU DICULIK YA?!”

“Sembarangan mulut lo. Udah, merem aja.”

“Kalo sampe gue diculik, lo bayarin makan gue ya?”

“Iye elah. Merem gece.”

Maya memejamkan matanya khidmat, entah mengapa ia menuruti perintah orang di depannya. Ia merasakan tangannya digenggam dengan hangat. Aneh memang rasanya karena ia tak terbiasa.

“Apa yang lo rasain sekarang?” tanyanya.

“Aneh.” jawab Maya. “Pegang-pegangan emangnya kita mau nyebrang?”

Lelaki di depannya terkekeh. “Iye, ke pelaminan.”

“Dih masa pelaminan pake nyebrang-nyebrangan? Emang kita kawin di tengah jalan raya?”

“Serius nape sekali-sekali.”

“Hah? Suara lo kecil banget.”

“Serius, elah.”

“Iye, sekarang ngga usah teriak juga kali.”

Maya merasakan genggaman itu semakin kuat. Tangan yang menggenggamnya terasa amat hangat dan nyaman, seperti sanggup memberi rasa aman pada Maya dan hidupnya.

“Umur kita sekarang udah 24 tahun, May.”

“Iya, terus kenapa? Ini gue masih harus merem?” Maya terlihat pegal.

“Katanya lo mau nikah umur 25, kan?”

“Iye-iye, ini ampe kapan gue meremnya?”

“Yaudah ayo nikah.”

Glek. Maya menelan ludahnya. Ada sesuatu yang salah.

“GILA YA—Hafidz?!” teriak Maya sekali lagi. Matanya membulat sempurna melihat orang di depannya.

Hafidz tersenyum simpul, tangannya yang satu membelai kepala Maya lembut. Maya masih tidak percaya, apalagi ketika melihat si empunya suara sebelumnya kini duduk di bangku yang agak jauh darinya.

“Ini apa......” ujar Maya pelan.

“Apa ya, lamaran kecil-kecilan?” jawab Hafidz.

“Hah?”

Tasya, Rega, serta Ale, Bagas, Nadir dan Jidan di ujung sana mati-matian menahan tawa melihat wajah linglung Maya. Keenam penghuni itu benar-benar ada di sana. Sayup-sayup yang Maya dengar ketika ia masuk ke dalam rumah bukan sekadar imajinasi Maya, melainkan nyata adanya. Hafidz, Rega, Nadir, Bagas, Ale, Jidan bahkan Tasya memang ada di sana.

“Mau ngga?” tanya Hafidz lagi.

“Ngga ngerti ini konsep kejutannya apa sih?” Maya bingung.

“Jawab aja dulu itu, kasian temen gue jauh-jauh dari Surabaya buat ngelamar cewenya.” seru Tasya. Senyumnya lebar sekali melihat sahabatnya.

Hafidz menaikkan alisnya, ia bertanya 'bagaimana' tanpa suara. Maya masih mencerna apa yang terjadi, ia takut ini hanya mimpi.

“May, gue sengaja ngga ngasih tau lo kalo gue mau pulang karena gue di mutasi ke rumah sakit cabang di sini. Rega juga sebenernya ke luar kota bukan ada kerjaan, tapi nyiapin ginian. Yang lain juga sama, habis pulang kerja nyempetin ke sini.” jelas Hafidz.

“Tapi—”

“Ngga, niat untuk ngelamar lo nya ngga dadakan sama sekali. Idenya aja yang dadakan, kata Nadir bagus kalo ngelamarnya sambil bikin teka-teki, kata Jidan kalo ngelamar di kontrakan cerdas jadi berkesan karena lo bisa inget-inget dulu kita di sini pernah nangis bareng, ketawa bareng juga. Jadinya yaaaa, kayak gini.” potongnya. Hafidz seakan mengerti pertanyaan Maya akan ke mana.

“Bentar-bentar gue jadi mau nangis.”

“Eh, kenapa?” Hafidz panik.

“Ngga, ini tuh apa ya..... ngga tau ah. Gue seneng banget tapi terharu at the same time.” tutur Maya. “I miss you all, like crazy. Gue pernah mimpi kita bareng-bareng lagi di sini, tapi gue rasa mustahil banget karena waktu itu kita lagi sibuk semua, apalagi Apis lost contact, makin sedih lah gue. Bahkan waktu tadi gue sampe sini aja gue masih denial, kayak kok bisa gitu lokasinya nunjukkin ke sini. Waktu denger suara lo semua, gue kira gue halu. Tapi yaudahlah, karena dari awal gue masuk rumah ini gue bertekad nerima semua apa yang terjadi di dalem rumah ini, karena gue tau pasti gue bakal keinget dulu waktu kita masih main di sini. Ternyata gue malah dilamar di sini. Hehe, ngga nyangka.”

Maya yang dirangkul Tasya melanjutkan kalimatnya dengan berderai air mata. Rasa lelah di tubuhnya setelah bekerja seharian tiba-tiba lenyap, pergi entah kemana. Ia merasa pulih dikelilingi oleh manusia-manusia yang dahulu mengisi hari-harinya.

“Almaya, ayo menua..

berdua.”

Kalimat itu.

Bagai daratan di tengah luasnya samudera, ia akhirnya dapat tegap berdiri di tengah hangatnya pasir yang menyapa jemari kaki setelah lama terombang-ambing tanpa arah. Kalimat ajakan itu tentunya disambut oleh senyuman, lalu diikuti anggukan kecil yang nampak malu-malu. Si gadis mengangguk malu, tanda setuju untuk menua bersama.

Laki-laki itu segera merengkuh gadisnya kuat-kuat. Ia tidak menyisakan celah untuk kehilangan yang kedua kalinya. Sekitarnya bersorak gembira layaknya hari ini pergantian tahun walaupun tanpa terompet dan cahaya kembang api. Bagaimana tidak? Mereka—Rega, Nadir, Bagas, Tasya, Jidan dan Ale—melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kisah kasih si gadis dan laki-laki. Dari manisnya janji yang terucap, hangatnya saat bersama, gelapnya perpisahan bahkan ketika si gadis dan laki-laki sama-sama ingin membubuhi titik di kisahnya, mereka tetap ada di sekelilingnya walau jauh raganya.

Petang itu, dua insan manusia menutup lembar penantiannya. Mereka tiba di masa depan yang mereka nantikan, janji Hafidz pun dipenuhi pada waktu yang tepat. Bagi Hafidz dan Maya, cinta mereka tumbuh seiring keduanya menjadi masing-masing pribadi yang lebih baik.

Mark my words, the right person will definitely come at the right time.


“Saya terima nikah dan kawinnya Almaya Sarafina binti Haris Airlangga dengan mas kawin yang disebutkan dibayar tunai.”

“Bagaimana saksi? Sah?”

“Sah..”

“SAAAHHH!!!!”

Almaya. Waktu yang panjang telah berakhir—setengah dirinya telah kembali.