Ahay

“Ayo minta maaf, Nan, Jih.”

Hainan menatap Jihan lurus, sementara Jihan jelas membuang pandangannya sejauh mungkin.

Keadaan ruangan berukuran 3 x 4 itu cukup panas, padahal cuaca desa seminggu terakhir selalu mendung, bahkan berkabut. Sudah dua jam mereka bersepuluh duduk di ruang tengah, namun tidak kunjung muncul penyelesaian. Tidak ada yang mau kalah dan tidak ada yang mau sudah.

“Nan, Jih, kita KKN tinggal seminggu lagi. Abis itu udah, kalian mau berantem cakar-cakaran terserah deh. Syukur-syukur kalau kalian baikan beneran. Aku cuma minta itu aja, kok. Jaga kestabilan kelompok kita sampai kita selesai KKN, udah itu aja.” lirih Dito si ketua kelompok diikuti anggukan anggota lainnya.

“Lah, itu Jihannya aja ngga mau dengerin gue? Gue udah minta maaf, To.”

Dito menghela napas panjang. Berani bertaruh itu tarikan napas paling panjang yang dia ambil selama mereka tinggal bersama di pinggir kota Jogjakarta.

“Jih, yuk dengerin dulu penjelasan Inan. Inan juga mau tanggung jawab kok itu. Inan udah bilang dia akan pastiin logbook kamu aman, nilai KKN kamu aman. Udah ya, Jih? Aku sebagai ketua kelompok juga akan usahain nilai sempurna untuk seluruh anggota kelompok. Kita cari solusinya bareng-bareng ya, Jih? Mau kan?”

Jihan beranjak dari sofa, memilih kembali ke kamar. “Yaudah. Demi kelompok.''


“Jiiih, hari ini nggak lupa kan reuni KKN? Dateng yaa jam tujuh, jangan telat.”

“Iya ini gue lagi absen pulang, bentar lagi gue ke sana yaa. Daah.”

Sudah dua tahun pasca kelulusan, baru kali ini mereka memutuskan untuk bertemu kembali dengan formasi lengkap. Lebih tepatnya, dipaksa lengkap. Dito mohon-mohon sekali kepada Faris dan Sandra si super sibuk untuk meluangkan waktunya demi acara reuni kali ini. Dito tidak ingin kehilangan momen untuk mengulang kembali hari-hari mereka sebelum ia menikah.

“GILAAA, pecah telor juga KKN Sleman ini. Congrats ya, To.” seru Raina saat Dito mengeluarkan undangan dari tas.

Yang disebut namanya tergelak. “Doain doain, tapi dateng ya lu semua. Awas gak dateng sih.”

''Gue kebutin To dari Bekasi, demi lu doang.'' timpal Bayu. ''Eh, si Inan belom dateng?”

''Macet katanya. Kantornya di Rasuna Said kan.”

“Lah sama kayak lu, Jih?'' sahut Jefrian.

Jihan mengangkat bahu secepat mungkin. Mana peduli.

Nilai Kuliah Kerja Nyata-nya memang keluar sempurna. A bulat, sesuai janji Dito. Hainan juga berusaha membantunya mengisi logbook. Maaf-maafan juga sudah dilakukan di hari terakhir KKN, namun entah mengapa rasa kesal itu masih betah di diri Jihan.

Ia meminimalisir hal-hal yang dapat membuatnya mengetahui kabar Hainan agar ia tak perlu susah payah menahan rasa kesal. Semua media sosial Hainan dibisukan oleh Jihan, ia juga hanya mau datang ke acara nongkrong teman KKN jika Hainan sedang tidak bisa hadir. Namun hari ini, ia mengikhlaskan dirinya untuk melihat Hainan lagi menggunakan mata kepalanya sendiri setelah tiga tahun lamanya.

''Sorry-sorry, tadi mobil gue ketutupan orang di basement kantor, gak bisa keluar. Jadi ngaret kan.''

Itu dia.

Lelaki dengan kemeja hitamnya itu menyalami satu persatu manusia yang hadir dengan gayanya yang tengil, masih sama seperti 2 tahun lalu. Jihan mati-matian berusaha tidak terlihat canggung. Sayang seribu sayang, Alfiya menyadari hal itu. Tangannya pelan mengelus lengan Jihan seraya berbisik bahwa semua akan baik-baik saja.

''Jih, udah lama.'' Tangan itu berada di depan wajah Jihan, menunggu disambut oleh yang punya.

''Eh. Iya.'' Jihan menyambut tangannya. Dingin.

Laki-laki itu duduk di serong kanan Jihan. Entah apa yang ada di kepala Jihan, namun ada sesuatu yang membuat dirinya ingin melihat laki-laki itu lagi dan lagi.


''Dateng ya jangan lupa. Dateng. D A T E N G.” seru Dito dari balik jendela mobil. Tangannya menunjuk teman-temannya satu-persatu.

Sisanya tertawa-tawa, menyanggupi permintaan teman yang pernah memimpin segala kegiatan mereka selama 45 hari lamanya. Acara reuni kecil-kecilan itu berakhir di jam 11 malam, mungkin bisa berlanjut hingga tengah malam jika Nabila tidak ditelfon oleh pacarnya yang ekstra posesif. Ah, teman yang satu itu sungguh malang.

''Balik... sama siapa?” sebuah suara memecah keheningan saat Jihan berjibaku dengan aplikasi ojek onlinenya.

“G-gocar, sih.” wanita itu menjawab lugas.

“Gue anter aja. Gimana?”

Jihan mengangkat kepalanya, menengok ke kanan kiri. Hanya tersisa Sandra, Bayu, dan tentu saja Hainan di parkiran kafe itu. Ia mati gaya. Jelas ia tidak bisa berbohong untuk pulang bersama Sandra maupun Bayu, dua orang itu mutlak berlawanan arah pulang dengan Jihan.

''Gapapa, Nan. Naik gocar aja.'' jawab Jihan lagi.

''Udah malem. Lagian searah juga. Ya nggak, Bay, San?” Hainan meminta dukungan Bayu dan Sandra. Yang ditanya tentunya mengangguk mengiyakan.

“Jih balik sama Inan aja. Udah jam segini juga ngeri kalo lu sendirian naik taksi online.'' bujuk Sandra.

Dalam hati Jihan pun ia setuju dengan perkataan Sandra, toh jika tawaran ini datang dari siapapun-selain Hainan, ia pasti tanpa babibu menyetujuinya.

“Mau kan?'' tanya Hainan lagi. Jihan mengangguk.

''Duluan ya, San, Bay. Hati-hati loh.''

Jihan membuka pintu penumpang dengan penuh keraguan. Apakah ini keputusan yang tepat?

''Nan, ini gue taro belakang atau gue dudukin aja?'' tanya Jihan sesaat membuka pintu penumpang. Berantakan dengan barang, khas anak laki-laki yang hidupnya diburu waktu.

''Eh, bentar gue beresin.'' Hainan meletakkan—lebih tepatnya melempar barang-barang ke jok belakang. ''Dah, boleh duduk sekarang.''

“Makasih.''

Hening.

Satu menit.

Dua menit.

Ini bukan tahun 2021 di sebuah rumah di Sleman, ini bukan hari di mana Hainan tidak sengaja menghapus seluruh dokumentasi proker Jihan, bukan juga hari di mana mereka duduk bersebrangan dan saling membuang muka ketika pelepasan tiba, namun masih berat rasanya bagi mereka berdua untuk berbicara lagi.

Hainan akui kesalahan Hainan fatal. Proker gagasan Jihan yang sudah dirancang berminggu-minggu, sudah digagas sedemikian rupa, hilang bukti-buktinya dalam hitungan detik. Hainan panik bukan main saat itu, segala cara sudah ia lakukan, namun hasilnya semakin buruk. Foto tersebut corrupt saat berusaha direcover.

“Masih lucu aja lu, Jih.''

''Hah?''

Dari sekian banyak kalimat yang bisa Hainan ucapkan, entah mengapa yang keluar dari mulutnya adalah sebuah pujian.

''Itu, anu, bercandaan lu masih lucu aja.''

Haduh, batin Hainan. Salah langkah.

''Iya lah. Mana pernah gue garing.''

Hening lagi.

Tangan Hainan bergegas menekan lagu secara acak di handphonenya. Entah lagu apa yang terpilih, Hainan harap keheningan ini pecah meledak hingga ke dasar-dasarnya.

Yang di kursi penumpang tentu tidak kalah canggungnya, berpura-pura mencari sesuatu yang tidak terlalu ia butuhkan di tasnya. Tidak. Tidak mungkin gincu. Itu membutuhkan cahaya yang cukup terang. Minyak angin? Jihan sedang tidak berada di Puncak Pass.

Ah, gumam Jihan. Sebuah pelembab tangan. Benar-benar gimmick yang cocok untuk suasana senyap di mobil suhunya lebih mirip kulkas swalayan.

''Masih sebegitu salah ya, Jih, gue di mata lu?” tanya Hainan tiba-tiba setelah memberhentikan mobilnya di lampu merah.

''Hah?”

''Diomongin yuk, Jih? Udah dua tahun. Masa iya kita masih diem-dieman gini?”

Jihan menelan ludah. Ia sudah tahu cepat atau lambat pasti percakapan ini akan tiba. Jihan tahu lelaki di sebelahnya pasti setengah mati berusaha mengucapkan kalimat di ujung lidahnya.

''Sekarang kan udah bisa diomongin pake kepala dingin, dingin banget malah, boleh tolong jelasin seberapa bencinya lu ke gue?” laki-laki itu bersuara kembali.

''Ng-ngga gitu, Nan.''

''Terus, gimana? Jelasin aja nggak apa-apa. Gue nggak akan nurunin lu kok, kalo lu masih kesel sama gue.''

''Hmmm..''

''Gimana, Jihan?''

Perempuan itu dapat melihat bagaimana si laki-laki memiringkan kepalanya ke sebelah kanan agar dapat melihat wajah si perempuan lebih jelas. Semburat merah dari pantulan lampu lalu lintas jatuh di wajah si laki-laki dengan amat indah, membuat perempuan itu semakin tergagap.

''Gue nggak pernah benci, Inan. Gue cuma hmm.. apa ya? Malu mungkin karena udah sengambek itu sama lu, udah ngerepotin satu kelompok juga. Padahal mah habis itu lu tetep bantuin ngisi logbook, nilai gue juga tetep A, tapi gue udah kepalang malu.'' jelas Jihan cepat.

''Padahal nggak apa-apa, Jih. Itu emang salah gue, kok.'' lelaki itu menekan pedal gas perlahan. ''Toh, kalo semisal kejadian itu terjadi pada gue, gue juga akan punya reaksi yang sama dengan lu. Valid kok perasaan lu.''

''Ya, kan? Pasti lu marah juga, kan, Nan?”

''Iya marah, tapi nggak akan sampe dua tahun.''

''Maaf, Nan.''

''Gue yang minta maaf.''

''Ya gue juga, lah?”

''Berarti kalo KKN ngumpul lagi terus ada gue, lu mau ikut, nih?''

Gelak tawa pertama terlepas sudah di kulkas swalayan berjalan itu. Sudah tidak begitu dingin, sudah pecah sampai dasar-dasarnya.


Hainan Satya R Gue udah sampe

Salsabila Jihan kok ngabarin

Hainan Satya R Fyi aja

Salsabila Jihan ok, good makasih udah ditebengin sampe rumah

Hainan Satya R Yaya Unmute gue dong jih

Salsabila Jihan iya

Hainan Satya R Nomor gue disave jg

Salsabila Jihan iya nan /send a picture udah Hainan Rese Kok hainan rese sih Hainan satya Segitunya lu lupa sama gue

Salsabila Jihan tidur nan

Hainan Rese Wkwkwk ok

Lampu kamar Jihan sudah benar-benar gelap. Mungkin di hitungan ke dua puluh ia sudah masuk ke alam mimpi. Hari ini cukup melelahkan baginya.

Hainan Rese Bsk berangkat bareng mau gak Kita satu gedung kantor Wkwk

haechan jihan satu kelompok kkn terus dua-duanya tuh awalnya deket waktu kkn, tapi suatu hari haechan sama jihan miskom yang menyebabkan proker jihan ancur. sampe selesai kkn mereka marahan, bahkan sampe lulus. cuma mereka ketemu lagi di kerjaan yang mengharuskan mereka akur, terus yaudah ciuman

  1. Jihan
  2. Hainan
  3. Dito
  4. Faris
  5. Sandra
  6. Bayu
  7. Jefrian
  8. Raina
  9. Alfiya
  10. Nabila