Sweetest Seventeen

Asap dari lilin ulang tahun berbentuk angka tujuh belas itu berhembus diiringi oleh tepuk tangan yang meriah. Yang meniup kini tersenyum lebar, sebesar tiga jari sambil membenahkan topi kerucut yang ia gunakan. Duh, sebenarnya ia tidak ingin menggunakannya karena ia akan terlihat konyol di hari ulang tahunnya, tapi demi menyenangkan orang-orang di hadapannya maka ia dengan senang hati mengenakannya.

“Potong kuenya dong buruan!!!!!!” seru lelaki di bawah pohon yang sibuk sendiri dengan kereta dorong berisi bayi.

“Ngalah dulu sama yang kecil dong!” protes wanita yang sedari tadi mendokumentasikan momen tiup lilin.

Yang berulang tahun menghela napasnya panjang, “Padahal kue pertama buat Ibu sama Ayah, sih.”

“YAH KOK GITU?!” protes keduanya bersamaan. Ah, umur memang bukan halangan bagi Maya dan Rega untuk bertengkar.

Bayangkan saja, di umur mereka yang hampir menginjak kepala empat dengan buntut lebih dari satu, mereka masih sanggup memperebutkan potongan pertama kue ulang tahun.

“Sayang, duduk aja sini sih. Itu udah ada si Nadir yang foto-foto, kamu duduk aja napa.” decit Hafidz. Tangannya mengisyaratkan agar Maya segera duduk di sebelahnya.

Maya mengalah. Ia segera menyimpan ponsel genggamnya, lalu duduk di manis di sebelah suaminya. “Mas, 'itu'nya kapan?”

“Abis acara selesai. Ngga enak rame-rame lah.” jawab Hafidz. Maya mengangguk paham.


“Sini duduk dulu. Istirahat.” saran Bagas. “Tuh, duduk sebelah Ale.”

Yang berulang tahun kini duduk di tengah-tengah meja makan dengan raut wajah sedikit lelah, namun tersirat bahagia dari sorot matanya.

“Gimana tujuh belas tahun?” tanya Hafidz.

“Belom juga ada sehari...” jawabnya.

“Ngga jelas si Apis emang.” cibir Tasya.

“Heh, kak lo lagi hamil. Jangan sembarangan ngomongnya.” tegur Jidan. Tasya cengengesan. “Nanti anak lo kayak Bang Apis loh.”

Gelak tawa menguar tanpa permisi dari satu lingkar meja makan itu. Rasanya sudah lama tidak mendengar Jidan melucu. Ralat, meledek Hafidz.

“Nih.” Rega tiba-tiba meletakkan sebuah amplop di hadapan si remaja tanggung.

“Ini....apa?”

“Baca aja.” ujar Maya lembut. “Dari Ibu.”

“Ibu?”

“Iya, ibu kandung kamu, Bas.”

Abas—si remaja tujuh belas tahun—perlahan meraih amplop putih yang baru saja Rega berikan. Matanya bergantian menatap orang-orang di sekelilingnya sembari membuka segel amplop.

Ia tahu betul sedari kecil bahwa dirinya memang bukan saudara kandung dari keluarga yang mengasuhnya. Ia juga sudah mendengar cerita bagaimana ia ditemukan oleh orang-orang yang bersamanya saat ini, walau singkat, namun Hafidz pandai merangkai agar ceritanya mudah dimengerti oleh anak seumuran Abas waktu itu. Hafidz bukan tanpa maksud merahasiakan surat tersebut dari Abas, melainkan ia hanya mengikuti isi surat yang tertera.

”...dan mungkin kamu baca saat umurmu tujuh belas tahun.”

Abas menelan ludah, lalu memejamkan mata sejenak setelah membaca tanggal pada surat. 23 April 2021, hampir tujuh belas tahun yang lalu

Teruntuk Bastian, buah hatiku tercinta. A blessing that happened into my life.

Kalimat pembuka pada surat sukses menghantarkan tetes air mata pertama pada hari bahagia Abas. Ia bisa merasakan cinta kasih yang tulus hanya dari kalimat tersebut. Ia adalah sebuah anugerah bagi seseorang.

Surat ini ibu tulis saat umurmu hampir satu tahun, dan mungkin kamu baca saat umurmu tujuh belas tahun. Izinkan ibu meminta maaf sebelum amarah di dadamu meledak-ledak. Ibu minta maaf telah lalai dan jauh dari makna “Ibu” yang sesungguhnya. Seharusnya, hari itu kita sama-sama lari dari kejaran orang-orang utusan ayahmu. Namun ibu menyerah, ibu titipkan kamu pada malaikat yang sedang merayakan ulang tahunmu di hari ini. Ibu tak tahu jumlah malaikatnya, namun ibu yakin mereka adalah rumah yang teduh untuk dirimu berlabuh dan bertumbuh.

Air mata semakin cepat berderai. Di balik matanya yang berkaca-kaca, ia samar-samar menatap para 'malaikat'nya. Ibu memang tidak pernah salah, ini benar rumah yang teduh dengan kasih sayang yang utuh.

Jangan lupa ucapkan terima kasih paling tulus untuk mereka, ibu titip satu ya kalau bisa. Nak, cintai mereka seperti kamu mencintai dot bayimu kala kecil. Peluk mereka sebagaimana kamu ingin memeluk ibu.

Tidak. Abas tidak sekuat itu untuk memeluk para 'malaikat'nya saat ini. Ia dan 'malaikat'nya sama-sama sedang berlinang, larut dalam kesedihan.

Ibu yakin, saat kau baca ini, kau jadi manusia yang kuat dan teguh hatinya. Berbuat baiklah pada setiap orang yang kau temui. Jadilah pria yang jujur dan penuh kasih sayang. Ibu ingiiiiiin sekali memelukmu, ibu ingin menyaksikan putra ibu tumbuh dengan baik. Sayang, ibu tidak bisa. Ibu hanya bisa menjagamu dari kejauhan, menyertakan doa agar kau selalu bahagia.

Abas tidak karuan. Setiap kalimat yang ia baca dapat ia rasakan kepedihannya.

Nak, terima kasih sudah jadi anak ibu. Terima kasih sudah jadi alasan ibu berjuang, walau akhirnya ibu menyerah. Selamat ulang tahun, nak. Ibu sayang Bastian. Tetap jadi anak ibu di kehidupan selanjutnya, ya?

With the sincerest love ever, Ibu.

Abas menarik napas panjang, dadanya sesak sekali. Hafidz bergegas menghampiri Abas, mengelus punggungnya, merengkuh memberi rasa aman. Maya dengan cekatan membantu Abas meneguk air untuk membantunya tenang. Yang lainnya tidak banyak bicara, memberi ruang untuk Abas tenang.

“Kak..” panggil Abas sesaat nafasnya mulai teratur. “Terima kasih udah mau jaga Abas. Terima kasih untuk tetep sayangin Abas sampe Abas segede ini. Dari Abas bayi sampe sekarang, bahkan tahun depan udah masanya Abas buat kuliah, cinta dan kasih kakak ngga pernah berkurang sedikitpun. Ibu bener, I met the right angels. Abas bener-bener sayang sama kakak, semuanya. Berkat kakak, Abas bisa bertumbuh dengan baik sampe hari ini. Terima kasih, kak. Ibu juga bilang terima kasih.”

Laki-laki yang berbicara itu sudah genap tujuh belas tahun umurnya. Matanya bersinar, sama seperti pertemuan pertama di depan pintu Kontrakan Cerdas. Laki-laki itu bukan lagi anak bayi dengan dot kuningnya, ia kini beranjak dewasa dengan segala pribadi baik yang ada di dirinya. Ia tumbuh dengan mewarisi pintarnya Hafidz, sifat bijak Rega, handal memasaknya Nadir, tegasnya Bagas, jahilnya Ale, lucunya Jidan, dermawannya Tasya dan lembut hatinya Maya.

Ah, waktu benar-benar berlalu begitu cepat.


“Permisi, om, tante. Abasnya di mana ya?”

Seisi meja memandang ke sumber suara secara serentak. Gadis manis berambut lurus sebahu, si pemilik suara tersenyum simpul.

“Abasnya lagi ke kam—”

“Eh, Luna? Aku kira kamu ngga dateng.” sergah Abas dari arah kamar mandi. Raut wajahnya kikuk seperti tertangkap basah atas sesuatu.

“Tadi aku harus nganter adek dulu ke tempat les, jadi baru bisa kesini deh. Maaf ya telat.” sayup-sayup suara gadis itu perlahan menghilang seraya Abas membawa gadis itu menjauh dari meja kakak-kakaknya.

Abas mengacungkan jempol tinggi-tinggi ke arah meja kakak-kakaknya, tanda ia baik-baik saja. Yang di meja tertawa dan mengangguk paham.

Abas sudah besar.