Surabaya, 2023

“Maaf bu, Apis belom bisa pulang kayaknya.”

“Ulang tahunmu loh le, mosok dua kali ulang tahun ngga dirumah. Dua kali ulang tahun, hampir dua kali lebaran juga.”

“Bu, Apis juga maunya mah pulang, tapi kerjaannya padet banget, bu. Apis juga kangen sama Ibu-Bapak, Apis juga mau liat Kak Dila sama Abang, Apis juga pengen meluk Abas lagi.”

“Ya nak. Ibu bisa apa kalo gini, kerjaanmu lebih penting.”

“Maaf ya, Bu. Apis janji tahun depan Apis pasti balik. Ibu sehat-sehat ya sama Bapak, titip salam buat Abas, tolong bilangin Apis kangen sama Abas, jangan sampe Abas nanti lupa sama Apis.”

“Ya.. Abas ngga terlalu kangen kamu karena Maya sering kesini main sama Abas. Dia sering ceritain kamu ke Abas, jadi Abas ngga bakal lupa kamu.”

“Maya, bu?”

“Iya, pacarmu itu rajin loh kesini.”

Glek, Hafidz menelan ludah.

“Hehe, bukan pacar bu. Hafidz mau cari makan dulu ya bu, laper.”

“Kalo bukan pacar, dipacarin dong. Hehe, yaudah sana makan ya. Makan yang enak, yang sehat.”

“Wassalamualaikum, bu.”

“Ya, waalaikumsalam.”

Hafidz membiarkan tubuhnya berguling ke sisi kanan kasur. Dirinya bimbang, sudah setahun lebih tidak kembali ke rumah tetapi pekerjaannya benar-benar tidak membiarkan dirinya untuk pulang ke kampung halaman. Hampir setahun juga ia membiarkan laman pesan dirinya dan gadisnya berdebu, tidak disapu bahkan jarang ia tengok.

Tanggungan pekerjaan untuk Hafidz sendiri memang sebenernya tidak sebanyak itu, namun dunia kerja tetaplah dunia kerja. Ada saja orang licik yang bertindak semaunya, memangkas A, menambah B, bahkan menitipkan tanggung jawabnya pada orang lain. Orang lain itu Hafidz. Senior di bagiannya yang sok berkuasa melimpahkan hampir seluruh pekerjaannya kepada Hafidz. Dengan mantra 'lo kan bro gue', tumpukan pekerjaan yang ia miliki secara cepat pindah ke tangan Hafidz.

“Emang kerja tuh harusnya ngga pinter akademik doang, tapi pinter liat muslihat orang juga biar ngga kayak gue.” batin Hafidz.

Sebaiknya malam ini ia tidur saja, perutnya sudah tiba-tiba kenyang dengan penyesalan yang banyak jenisnya,


Satu gelas kopi dengan merek berwarna hijau teronggok di atas meja kerja Hafidz. Kopi berwarna keruh tersebut masih dingin dengan efek embun-embun di sekitar gelasnya.

Have a nice day, Apis! :) Begitu tulisan di gelasnya.

Hafidz segera melongok ke bilik sebrangnya, bertemu pandang dengan gadis rambut sebahu berkacamata yang sedang tersenyum ke arahnya.

“Lo?” tanya Hafidz tanpa suara. Wanita itu mengangguk dan tersenyum. Hafidz lekas berterima kasih tanpa suara juga.

Elia namanya. Ia diterima di rumah sakit bersamaan dengan Hafidz, mungkin itu yang membuat mereka dekat. Namun, siapapun pasti akan bilang bahwa perasaan Elia ke Hafidz lebih dari sekadar teman dilihat dari mata Elia yang selalu berbinar-binar ketika menatap Hafidz. Hafidz dan Elia sering pergi untuk sekadar cari makan atau bahkan nonton film bersama. Tetapi bagi Hafidz, Elia sama saja posisinya dengan Tasya, teman. Berbeda dengan Maya yang sampai sekarang masih mengisi hati dan pikirannya.

Menurut Hafidz, apa yang ia lakukan kepada Elia masih dalam batas wajar. Ia bahkan selalu berusaha untuk tidak menaruh harapan bagi Elia. Namun hati siapa yang bisa atur, jikalau Elia memang memilih jatuh hati pada Hafidz walau tanpa harapan yang diberikan sekalipun.

“Pis, kerjain lagi ya. Abang mau sebat dulu sebentar.” sosor si licik tiba-tiba. Ia menyerahkan beberapa tumpuk berkas ke atas meja Hafidz tanpa kata tolong. Sungguh tidak mencerminkan seorang senior, bukan?

“Sebat-sebat, noh paru-paru lo lembek kayak jeli.” sungut Hafidz dalam diam.

Sebuah tangan mungil meraih satu tumpuk berkas di hadapannya secara tiba-tiba. Itu tangan Elia. “Eh, jangan El.”

“Nggapapa, kerjaan aku dikit lagi beres soalnya. Aku bantuin aja ya, kasian kamu kalo lembur terus-terusan.” bujuk Elia lembut.

“El, aku ngga mau ngerepotin orang. Nanti jatohnya malah jadi kayak utang. Ngga usah ngga papa.”

“Alah, kayak sama siapa aja sih, Pis.”

Elia melenggang kembali ke biliknya dengan setumpuk berkas yang ia ambil paksa dari rekan, ekhm rekan cintanya. Jika pepatah bilang cinta itu buta, maka bagi Elia, cinta itu mati rasa. Ia jelas berbohong kepada Hafidz mengenai pekerjaannya yang sebentar lagi selesai, padahal jelas-jelas ia belum memulai satupun pekerjaannya sedari tadi hanya karena sibuk memesan kopi untuk Hafidz.

Walaupun yang dia lakukan sama dengan menambah pekerjaannya, ia akan tetap mengerjakannya dengan senang hati dan senyum tiga jari. Apabila itu untuk seseorang yang ia cinta, apapun ia lakukan. Tabiat Elia ini sudah banyak diketahui orang, banyak juga yang sering menasehatinya, tetapi Elia tetaplah Elia.

Mendekati jam makan siang, Elia kembali menghampiri meja Hafidz untuk mengajak makan bersama. Untungnya dewi fortuna berpihak kepada Hafidz, Elia tiba-tiba diajak makan oleh saudara sepupunya sehingga tidak mungkin untuknya memboyong Hafidz.

“Gue liat-liat Elia udah cinta mati ama lo nih, Pis.” ledek Guntur, teman kerja Hafidz yang rajin bawa bekal.

“Buat lu aja, Gun. Rela gue.”

“Lah, gue kira lo naksir juga ama Eli?”

“Mana ada.” pungkas Hafidz diikuti tawa Guntur yang menggelegar sesuai namanya.


Jam menunjukkan pukul delapan malam. Ruangan kerja itu berangsur-angsur sepi. Hanya tersisa sekitar lima orang yang masih berkutat dengan komputernya masing-masing. Hafidz merasakan tulang punggungnya semakin kaku terhitung dua belas jam sudah ia duduk di depan komputer menyelesaikan pekerjaannya. Ia merasa hari ini sudah cukup ketika ia mengingat kembali pepatah Rega;

'Kerja jangan kaya orang kesetanan, yang wajar-wajar aja. Kalo lo mati mah perusahaan bisa cari karyawan baru, tapi keluarga lo ngga bisa nyari anggota baru.'

Ia bergegas merapikan barang-barangnya dan mematikan komputernya lalu pamit dengan orang yang tersisa di ruangan. Sedikit aneh ketika ia tidak melihat Elia di kursinya, padahal biasanya Elia akan pulang jika ia juga pulang.

“Bagus lah, bisa istirahat—ANJING!” umpat Hafidz saat melewati lobi rumah sakit. Untung saja malam itu lobi rumah sakit tidak seramai biasanya, jadi rasa malu Hafidz masih bisa ia tolerir.

Hafidz mengumpat bukan tanpa alasan. Kau pernah merasakan menghindar dari seseorang dan senang ketika kau berhasil lari darinya namun tiba-tiba orang itu muncul di depanmu? Jika pernah, selamat kau bisa tahu apa yang dirasakan Hafidz malam ini. Elia tidak ada di meja kerjanya sebab Elia pulang terlebih dahulu untuk kembali dengan gaya yang berbeda. Elia dengan terusan selututnya yang berwarna kuning dengan aksen bunga-bunga seakan jadi pemanis di tengah lobi rumah sakit yang dingin ini.

“Hai.” sapa Elia.

“El-Elia? Kamu ngapain di sini? Tadi bukannya udah pulang?” jawab Hafidz gelagapan.

Elia tidak menjawab, melainkan mengamit tangannya dan menuntun dirinya menuju taman tengah rumah sakit. Jujur, setahun lebih bekerja di sini, Hafidz belum pernah menginjakkan kakinya di taman tengah rumah sakit. Ia lebih suka pergi ke taman depan sambil melihat mobil yang lalu-lalang. Ternyata, tamah tengah lebih-lebih indahnya. Lampu yang temaram, diiringi alunan melodi samar-samar yang entah dari mana sumbernya, dan air mancur yang menambah indah suasana.

“Ada apa, El?” tanya Hafidz to the point sesaat mereka duduk di dekat air mancur. “Kamu kenapa balik lagi ke sini? Udah bagus pulang tadi kan bisa istirahat.”

“Aku kepikiran kamu.”

Alis Hafidz terangkat. Heran. “Maksudnya?”

“Aku udah nyoba istirahat, tapi aku terus-terusan kepikiran kamu.” tutur Elia pelan.

“Kok bisa?”

“Aku kayak punya utang sama kamu.”

Hafidz terkekeh. “Ada juga aku kali yang ngerasa punya utang sama kamu, tadi kan kamu bantuin aku ngerjain berkas, terus kamu beliin aku kopi juga.”

“Aku rasa aku harus nanya sesuatu ke kamu. Pertanyaan ini ada di otak aku udah lama banget, tapi aku ngga pernah tau jawabannya. Tiap malam aku ngga bisa tidur mikirin ini.”

“Mau nanya apa, El?”

“Kalo aku ngajak kamu pacaran, kamu mau kah?” lontar Elia lugas. Tanpa keraguan bahkan tidak sedikitpun bibirnya bergetar.

Hafidz menarik napasnya. Ia tahu cepat atau lambat, malam ini akan tiba. Ia diam sejenak, lagi-lagi otaknya sedang menyusun kalimat yang paling sedikit risikonya.

“El, maaf.”

Tolong beri Hafidz gelar tambahan, si hobi minta maaf.

“Ah, oke..” lirih Elia.

“Maaf banget, El. Aku cinta sama orang lain.”

It's okay. Makasih, Hafidz udah mau ngasih jawaban yang jelas. Kalo kayak gini, aku kan bisa mundur.” ujar Elia. “Aku tipe orang yang baru mundur ketika memang udah ada red sign, Pis. Maaf ya kalo selama ini kamu merasa terganggu. Yakin deh, besok-besok aku ngga begitu lagi.”

“Bukannya itu justru nyakitin kamu ya, El?”

“Iya memang. Tapi aku puas aja aku pernah berjuang buat orang, walaupun ya ngga ada timbal baliknya.”

“El—”

“Aku lagi mikir, orang yang kamu taksir tuh pasti beruntung banget ya bisa dapet kasih sayang dari kamu? Pasti dia bahagia banget sekarang.” Elia berkicau bebas.

Hafidz terdiam sembari mendengarkan monolog Elia. Matanya kabur menatap air mancur yang terus menyemburkan airnya. Elia terus-terusan membicarakan betapa indah hidup 'gadis kecintaan' Hafidz dalam monolognya tanpa pernah Elia tahu bahwa si gadis kecintaan Hafidz juga sama lara hatinya dengan dirinya.

Malam ini, Hafidz sepuluh ribu kali lipat merasa bersalah atas rasa cintanya.