Anak SMA

“Ngga bisa gitu, El. Agenda marah-marah di ospek kita tuh bukan agenda utama. Jujur gue sendiri kurang suka sama adanya sesi marah-marah di ospek, yang tanpa sebab ya. Kesannya jadi kayak bales dendam doang karena kita dulu juga digituin sama kakak kelas kita.”

Suara Abas menggema di rapat besar OSIS diikuti dengan beberapa anggukan anggota OSIS. Matanya tajam menatap ke arah Arfael yang tampaknya mulai emosi. Perdebatan antara ketua OSIS dan ketua pelaksana ospek ini bukanlah kali pertama, namun bukan juga yang paling fantastis. Beberapa anggota meyakini bahwa Abas dan Arfael masih bisa berdebat lebih fantastis lagi di kemudian hari.

“Adek kelas kita bisa aja jadi ngga sopan Bas kalo ngga dikerasin.” sahut Arfael. “Lo liat lah sekolah sebelah, tahun kemaren ospeknya ngga diomelin, eh utasnya malah nyolot.”

“Apa bedanya sama senioritas kalo kayak gitu?”

“Jelas beda lah. Senioritas kan emang pengen nindas aja, kalo ospek kan emang agendanya membentuk karakter murid-murid baru. Lagian abis ospek juga biasanya kita maaf-maafan.”

“Membentuk karakter ngga harus dengan marah-marah, El.”

“Ya apa terus? Lo mau ngisi acara lo cuma pake sambutan-sambutan dari guru? Materi-materi? Basi, Bas. Acara lo bakal jadi acara ospek paling basi!”

Arfael kini berada di puncak emosi, sementara Abas masih bersikap datar dengan kepala dinginnya. Ia benar-benar pandai mengatur emosinya, tidak melulu meledak-ledak namun mampu mempermainkan emosi lawannya.

Voting aja, El. Tanya anggota lain maunya kayak gimana.” kata Abas. “Gue yakin sih yang lain udah baca proposal, ngga kayak lo, sampe bisa bilang acara ospek gue basi.”

Deal.”


“Kamu hari ini jadi konsul matematika?”

Abas menggeleng. “Ngga ah, pusing. Besok aja.”

“Yaudah langsung pulang aja kalo gitu ya.”

Lagi-lagi Abas menggeleng, kali ini dibarengi dengan tangannya yang mengamit tangan gadisnya agar berada di sisi kirinya. “Makan es campur, yuk? Mau ngga?”

“Kalo pusing mah pulang, Bas..”

“Jadi ngga mau nih?”

“Eh, mau.” ujar si gadis pelan.

“Nah gitu dong.”

Si lelaki anak-baru-gede memberhentikan angkot dengan tangan kanannya, lalu mempersilakan gadisnya untuk naik terlebih dahulu, tidak lupa menyuruh gadisnya agar tidak duduk terlalu dekat dengan pintu.

Ah, iya. Dua sejoli ini memang masih naik angkutan umum kemana-mana. Si lelaki belum genap tujuh belas tahun, belum punya surat izin mengemudi. Yaaa, walau kadang Abas kabita, membayangkan rasanya menyusuri jalanan kota sambil berboncengan, ia harus tetap sabar. Lagipula, ia masih belum memiliki kendaraan. Ia hanya pernah beberapa kali menggunakan motor Hafidz jika Maya meminta bantuan untuk membelikan sesuatu di warung dekat komplek.

Walau kesannya terasa cupu karena sudah kelas dua belas dan tidak membawa kendaraan, Abas tetap bangga (bahkan sedikit jumawa), sebab: 1. Dirinya mengikuti aturan bahwa seseorang hanya boleh mengemudikan kendaraan apabila sudah memiliki Surat Izin Mengemudi yang sesuai dengan jenis kendaraannya. 2. Hanya dirinya yang dapat membawa gadisnya (yang sangat cantik) makan es campur sepulang sekolah.

Abas bukan sekali-dua kali membawa gadisnya ke kedai es campur langganannya, bahkan bisa dibilang hal ini rutin ia lakukan tiap minggunya. Si gadis juga tak pernah protes atau menolak jika mereka berakhir menyantap es campur dengan berbagai gorengan, atau lebih tepatnya, si gadis akan selalu bahagia kemanapun perginya selama masih bersama Abas.

“Jalannya ke es campur mulu, ngga punya duit ye lu?”

Pernah suatu kali ia mendengar celetukan itu dari temannya. Abas hanya tertawa, ia anggap itu bercanda walaupun memang benar adanya, Abas tidak punya uang. Lah bener, aku kan belom kerja jadi ngga punya uang. Ini mah uang kakak-kakak aku, begitu kata Abas ketika gadisnya bertanya mengapa respon Abas hanya tertawa.

Kedai es campur itu punya cerita, punya andil besar dalam kisah cinta Abas.

Hmm, tebakan kalian salah jika kalian menebak Abas dan gadisnya pertama kali bertemu di kedai es campur. Pasalnya, hari itu adalah entah pertemuan keberapa dengan gadisnya. Toh, pada kala itu mereka sehari-hari selalu bertemu di rapat kepanitiaan atau sekadar berpapasan di koridor sekolah. Namun, pertemuan hari itu benar-benar membuat Abas penasaran setengah mati dengan gadis yang ia lihat sedang mengeluh mengenai betapa ruwetnya kepanitiaan yang ia jalani kepada bude penjual es campur. Abas yang saat itu masih berdiri di ambang pintu kedai memilih untuk duduk dan mendengarkan racauan gadisnya dari kejauhan. Samar-samar ia dengar gadisnya menyebut nama divisinya, lalu nama si koordinator, kadang ia juga menyebutkan nama-nama anggota divisinya. Tidak ada yang sangka bahwa keinginan Maya malam itu untuk menyantap es campur membawa Abas kepada rasa penasaran yang tak berujung. Abas diam-diam menaruh hati pada teman satu kepanitiaannya, gadisnya, Luna.

“Aku pesenin ya. Kamu mau es campur atau es oyen?”

“Es oyen aja” jawab Luna. Selagi Abas memesan, ia beralih ke meja gorengan, mengambil dua potong mendoan dan satu potong lapis legit kesukaan Abas.

“Segitu aja gorengan kamu, Lun?” tanya Abas. “Dikit banget.”

Luna mengangguk seraya menggigit mendoannya. “Masih kenyang, lagian takut bunda masak juga di rumah.”

“Hmmm, Kak Maya masak ngga ya?” Abas bergumam.

“Eh-”

Ekspresi Luna seketika berubah. Ia takut perkataannya menyinggung hati Abas, padahal ia sama sekali tidak bermaksud. Luna tahu betul cerita hidup Abas, maka itu sebisa mungkin Luna menghindari percakapan tentang keluarga, walau sebenarnya Abas tidak pernah merasa tersinggung maupun terpojok dengan bahasan seperti itu.

“Aku gapapa, Lun.” kata Abas tiba-tiba. Luna yakin pasti Abas membaca gerak-geriknya, maka itu Abas segera menangkupkan tangannya di atas tangan Luna.

Kata 'jahil' memang lekat dengan image Abas, namun dirinya juga tumbuh menjadi lelaki yang amat peka dengan sekelilingnya. Ia pandai membaca situasi dan ekspresi sehingga kebanyakan orang merasa baik-baik saja di dekat Abas.

Seperti yang pernah ditulis pada bagian sebelumnya, Abas memang cetakan anak Kontrakan Cerdas. Ia seakan mewarisi satu-persatu watak warga kontrakan tersebut. Kalau dijabarkan, maka kemungkinan ia dapat sifat pekanya dari Rega dan Jidan, walaupun rasa peka keduanya juga berbeda. Rega yang peka dan langsung bergerak menyelesaikan apa yang tidak semestinya, sementara Jidan yang peka nan menenangkan. Lalu, Abas peka yang seperti apa? Jawabannya, keduanya.

“Kamu kalo mau ngomongin bunda, ayah atau mba tuh ngga apa-apa banget, Lun. Aku seneng malah dengernya.” lanjut Abas.

“Aku tuh masih takut kamu sedih, Bas. Tau sendiri kamu kalo sedih ngga pernah bilang-bilang.”

Yang dituduh terkekeh. “Lah kalo sedih bilang-bilang tuh terus gimana? Aku harus bikin pengumuman kalo aku lagi sedih kah?”

“Iiiih, ngga gitu. Ya cerita aja sama aku, kan aku bisa bikin kamu ngga sedih lagi.”

“Gimana tuh caranya?”

“Ya.... Aku hibur?” Luna tampak kebingungan dengan kalimatnya sendiri.

Lagi-lagi Abas tertawa. Gadisnya ini memang lucu dengan sendirinya. “Aku selalu seneng tau, Lun. Keluarga aku gedeeeee banget, banyak banget orangnya, semua juga sayang aku, jadi ngga mungkin aku sedih. Aku bersyukur banget punya mereka, mereka mau ngurusin aku dari mereka masih jadi mahasiswa sampe sekarang mereka udah punya anak sendiri-sendiri aja tuh udah lebih dari cukup untuk bikin aku bahagia, Lun.”

Glad to know that you're always happy, Bas. You really deserved it.”

“Kamu. Kamu juga lebih dari cukup, Lun.”

“Maksudnya?”

“Udaaah, ayo cepet diabisin, nanti keburu ujan. Aku anter kamu pulang dulu, kamu bawa payung kan?”

Terima kasih langit mendung, Abas jadi tidak perlu mengulang kalimat romantis yang ia sebutkan. Ah, ini benar-benar cuaca yang tepat untuk mengantar pujaan hati pulang ke rumahnya.