lover

The truth is, airport have seen more sincere hugs and kisses than wedding halls. – Anonymous

Hafidz berdiri di depan pintu keberangkatan bersama dua koper besar, satu ransel, dan satu bantal leher yang bertengger. Ia menatap manusia-manusia di depannya satu persatu dengan lekat, lalu bergantian pula memeluk dan saling membisikkan kata perpisahan.

Read more...

Kafe selalu identik dengan wangi biji kopi yang menguar ke seluruh ruangan dan denting perabotan makan. Sore itu, kafe yang bernuansa putih dengan aksen kayu cokelat tidak terlalu ramai. Hanya ada satu orang yang duduk di meja tinggi dan satu orang lainnya yang duduk di dekat jendela, Hafidz.

Perkiraan laki-laki itu tidak meleset sedikitpun. Kotak berpita berisi kalung yang ia selipkan di antara buket bunga yang ia berikan kepada Maya kemarin, baru ditemukan tadi malam oleh Maya. Tentu saja gadis itu kaget bukan main, ia mengirimkan puluhan pesan dan telfon tak terjawab hanya untuk bertanya apa maksud Hafidz.

“Si hobi telat.” sapa Hafidz.

Read more...

“Wisudawan berpredikat cumlaude, Program Sarjana Fakultas Hukum dengan peraih IPK tertinggi adalah Hafidz Aldean, sarjana hukum dengan IPK 3,89.”

Suara Master of Ceremony pada acara wisuda hari ini menggelegar di penjuru auditorium, membacakan nama-nama wisudawan predikat cumlaude membuat siapa saja yang mendengarnya merinding apalagi ketika bilangan IPK dibacakan ke seluruh hadirin.

Read more...

“Duduk dulu, mau minum apa?”

Hafidz baru saja tiba satu menit yang lalu di apartemen Maya, hawa canggung benar-benar langsung menyelimuti sekitar mereka. Ia menyerahkan kantong plastik berisi sate padang yang ia beli di dekat kampus untuk meredakan suasana. Tidak biasanya Maya bertanya kepada tamunya ingin minum apa, karena biasanya ia akan persilakan tamunya untuk mengambil minum sendiri sesuka hati.

Read more...

Semester ini berjalan seperti semestinya bagi setiap mahasiswa.

Yang tua dengan skripsinya, yang di tengah dengan tugasnya dan yang muda dengan ilmu pengantarnya.

Kontrakan cerdas tidak pernah lengkap isinya di satu waktu. Ada saja yang sibuk dengan organisasinya atau mengerjakan skripsi di luar kontrakan. Keadaannya lengang, tidak seperti saat Abas masih merangkak kesana kemari hanya untuk melihat manusia mana yang terjaga di rumah ini.

Pernah sih, suatu saat kontrakan lengkap bahkan dengan Maya, Tasya, Adit, Mahesa dan tunangannya serta Ayah dan Ibu Hafidz. Hari itu mereka merayakan ulang tahun pertama Abas, lengkap dengan kue bergambar kartun mobil dan balon-balon berisi heliumnya. Suasana kontrakan terasa sangat hangat pada saat itu, namun lagi-lagi hal tersebut tidak bertahan lama. Dua jam setelahnya, keadaan kembali normal. Ruang tengah yang lengang dan hanya bersisa balon-balonnya saja.

Read more...

Udah di bawah, May. Udah siap kan?

Udah, bentar ini turun dulu yaa.

Maya lekas masuk ke lift yang terbuka, bersamaan dengan ditutupnya telfon dari Hafidz. Entah mengapa, malam ini suasananya terasa berbeda. Padahal biasanya ketika mereka pergi makan malam bersama, rasanya seperti bahagia meliputi seluruh dada, tetapi kali ini ada rasa cemas yang tersembunyi di balik bahagia mereka.

“Lama ya? Tadi agak rame di lift.” sapa Maya saat tiba di dalam mobil Hafidz.

“Santai. Mau makan apa kita?”

Read more...

Kini Rega sudah duduk manis di jok sebelah Hafidz, namun ia tidak banyak bicara, seperti bisa membaca bahwa ada sesuatu yang akan ia terima ketika sampai di kontrakan.

Read more...

May, gue udah di depan.

Masuk aja

Lo pikir gue cenayang bisa tau password apartemen lo?

Ulang tahun kampus

Aneh banget anjing

Read more...

Maya langsung merapikan barang-barang yang ada di mejanya. Ibarat pepatah nasi sudah menjadi bubur, sekarang semangat skripsi Maya sudah menjadi bubur. Lembek. Meleyot.

Maya suka mcd, tapi Maya lebih suka sate padang. Tapi siapa sih yang bakal nolak digojekin mcd sama temennya? Maya sih ngga. Makanya Maya langsung pergi dari perpustakaan.

“Mba, maaf. Itu barangnya jatoh kayaknya.” tegur wanita yang ngga dikenal Maya waktu Maya lewat lobby bagian pengembalian buku.

Ada kresek putih, lapis dua. Maya ngintip sedikit, tapi tetep ngga keliatan. Perasaan Maya, dia ngga bawa barang di kresek putih sama sekali hari ini.

Muka Maya bingung banget, tapi muka mba-mba di depan Maya juga lebih bingung.

“Eh, makasih mba. Iya ini barang saya. Duluan ya mba.”

Tanpa pikir panjang, Maya langsung ngacir ke mobil daripada bikin bingung mbanya lagi. Niatnya Maya, kalau barang itu ngga esensial, bakal Maya balikin ke satpam perpus, tapi kalau esensial akan Maya simpan dan Maya cari siapa yang punya.

“Anjing, dot? Di dunia kampus ini siapa yang ngedot dah.” Maya tertawa kecil saat membuka kresek putih tersebut.

Maya tergumam, matanya menatap lurus ke parkiran.

Ah iya, bisa jadi punyanya anak S2 yang udah punya anak ya. Atau punyanya anak FK buat praktikum, batin Maya.

Maya menyalakan mesin mobilnya dan melaju keluar parkiran perpustakaan. Iya, menurut Maya benda itu esensial, sehingga ia menyimpannya dan berniat mencari tahu benda itu milik siapa.

“Ini sepupu gue yang waktu itu gue ceritain, namanya Tamara. Satu jurusan sama kita kecuali Mahes. Dia tinggal di rumah samping kos-kosan kita.” ujar Dale kepada enam temannya.

“Halo Tamara, gue Mahesa.”

“Gue Rehan.”

“Januar, salam kenal Tamara.”

“Fajri”

“TAMARAAA, GUE HANIF”

“boong, dia mah heri. Heboh sendiri.” celetuk Rehan.

“Naufal.”

Ngga bohong, Dale pintar banget memilih sirkel pertemanan. Ganteng, sopan, terpuji, pintar, kecuali ya ada yang heboh sendiri.

“Halo, Mahes, Rehan, Januar, Fajri, Hanif, Naufal. Semoga lo betah ya tinggal beda atap sama gue.” jawab Tamara kikuk.

Sejujurnya, Tamara takut banget harus tinggal sama enam laki-laki yang belum ia kenal baik. Ya walaupun beda atap, alias bangunan rumah Tamara dan Dale terpisah oleh parkiran dan taman, tetep aja mereka masih satu lingkungan, satu pagar.

“Tam, tenang aja ya kita ngga bakal berisik kok. Dikit sih paling kalo lagi maenan aja.” kata Januar. Kayaknya Januar bisa baca muka Tamara yang masih ragu.

“Bener, Tam. Paling Hanif yang heboh sendiri.” Fajri menanggapi.

“HANIF HANIF, BANG!!!!!! LO KAN ANAK AKSEL TETEP LEBIH MUDA DARI GUE PAJRI” omel Hanif.

“HAHAHAHAHHAHAHA” Iya, Mahesa cuma ketawa aja liat Fajri sama Hanif berantem.

Sementara Rehan, Dale, dan Naufal cuma geleng-geleng kepala, pertanda hal yang dibilang Januar tadi cuma janji manis belaka karena ternyata baru intro aja mereka udah berisik sendiri.


“Le, Tamara mana ya?”

“Ngga tau juga, pang. Tadi sih abis makan dia balik ke tempat dia. Emang kenapa?”

“Kan gue sekelompok ospek univ sama dia, mau nanya tugas.” jawab Naufal.

“Sok weh samperin aja kamarnya, diketok dulu ya jangan lupa. Kalo ngga ada berarti dia di taman belakang.”

Naufal mengacungkan jempol kepada Dale tanda mengerti, lalu ia bergegas pergi ke kamar Tamara.

Tok, tok, tok

Ngga ada jawaban.

Tok, tok, tok

“Tamara? Lo di dalem ngga?” tanya Naufal.

Masih ngga ada jawaban.

Kata Dale, coba cek taman belakang, tapi kosong juga. Tamara kemana, sih?

“DALE, ANAKNYA NGGA ADAAAAAAAAA”