Far, Far away

Kafe selalu identik dengan wangi biji kopi yang menguar ke seluruh ruangan dan denting perabotan makan. Sore itu, kafe yang bernuansa putih dengan aksen kayu cokelat tidak terlalu ramai. Hanya ada satu orang yang duduk di meja tinggi dan satu orang lainnya yang duduk di dekat jendela, Hafidz.

Perkiraan laki-laki itu tidak meleset sedikitpun. Kotak berpita berisi kalung yang ia selipkan di antara buket bunga yang ia berikan kepada Maya kemarin, baru ditemukan tadi malam oleh Maya. Tentu saja gadis itu kaget bukan main, ia mengirimkan puluhan pesan dan telfon tak terjawab hanya untuk bertanya apa maksud Hafidz.

“Si hobi telat.” sapa Hafidz.

“Jawab gue. Buruan.” sergah Maya tidak sabar. Ia meletakkan kotak

“Duduk dulu, May. Ngga baik ngobrol sambil ngos-ngosan.”

Maya akhirnya duduk, niatnya memesan minuman ia tunda walaupun ia sebenarnya kehausan. “Jawab ih, gue semaleman ngga bisa tidur mikirin ginian.”

“Mau mesen apa?”

“Jawab dulu, Hafidz.”

“Pesen apa?”

Lychee tea.” ujar Maya. “Sama kentang goreng.”

Hafidz menatap Maya di depannya yang sekarang sedang menggerutu kecil sambil mengetuk-ngetuk jarinya ke atas meja. Lucu.

“Jadi, kita tetep ngga pacaran nih?” tanya Hafidz tiba-tiba.

“Ngga. Gue kan nolak lo waktu itu.”

“Padahal kemaren pas wisuda kita kayak pacaran.”

“Kenapa ngasih kalung?” Maya mengalihkan pembicaraan. Ia benar-benar penasaran sampai mati.

“Hadiah, dibilangin.”

“Gue ngga ulang tahun.”

“Lo lulus kuliah.”

Maya memutar matanya. “Jangan banyak alesan, Pis. Kenapa?”

Alih-alih menjawab, Hafidz memilih untuk melihat keadaan jalan raya dari jendela. Isi kepalanya tidak beraturan, ia bahkan tidak dapat merangkai jawaban untuk pertanyaan Maya.

“Anu....”

“Misi, ini lychee teanya satu, mango smoothiesnya satu, kentang goreng dan batagornya ya. Pesanannya sudah semua ya kak, terima kasih.” ujar seorang pelayan kafe tiba-tiba.

“Iya, makasih mas.” tukas Maya.

Gadis itu menyeruput minuman miliknya dan mengunyah beberapa potong kentang goreng di hadapannya. Ia masih menunggu Hafidz untuk melanjutkan jawabannya.

It's a farewell gift, May.” jawab Hafidz. Maya mengernyitkan dahi tanda tak paham.

“Tadi bilangnya congraduation gift, sekarang jadi farewell gift. Lo ini lagi ngarang ya?”

“Engga.”

“Terus?”

I'm moving to another city, Almaya.” lirih Hafidz.

Maya berusaha mencerna perkataan Hafidz. Pindah? Kemana? Bukan kah setelah lulus kuliah mereka memang pindah ke kota asal mereka?

“Ngga cuma lo. Kita emang bakal balik ke rumah kan?” tanya Maya balik.

Hafidz menggeleng. “Gue keterima kerja di Surabaya.”

Dunia dan seisinya seperti membuat Maya limbung. Ada rasa sesak yang muncul di ujung dadanya saat mendengar nama kota yang jauh dari tempat mereka berada.

“Waw.” respon Maya. Hanya itu kata yang dapat keluar dari bibirnya saat ini. “Jauh.”

“Yaaa, jauh.”

Lelaki itu membiarkan gadis di depannya diam. Memang siapapun butuh waktu untuk menerima kepergian seseorang walaupun sementara. Hafidz tidak mengajak bicara atau bahkan menyeka air mata Maya, ia memberi jarak dan ruang untuk Maya.

“S-selamat, Pis. As i said, lo emang temen gue paling keren masalah otak.”

“Pengumumannya keluar kemaren, tapi gue belom konfirmasi ulang.”

“Kenapa gitu?”

“Gue ragu, if I take that, I have to leave you soon.” Hafidz menunduk.

“Heh,” Maya tertawa getir di tengah air matanya. “Gue bukan pertimbangan, Pis. Gue bukan siapa-siapa lo—iya, kita sahabat, tapi gue ngga bisa lo jadiin pertimbangan buat masa depan lo.”

You're the future that i was looking for. Lo bagian dari masa depan gue.”

“Belum, Hafidz. Kita belum bisa jadi sesuatu yang sebegitu berharganya. Masa depan lo, karier lo jelas lebih berharga untuk hidup lo kedepannya. Jadi, ambil ya, please?” pinta Maya.

“Gue ngga tau kapan bisa balik, May. Di Surabaya pasti gue ngga sebentar.”

“Emang kenapa? Bisa gue yang kesana kok, atau mungkin gue dapet kerjanya juga di sana. Ngga ada yang tau, Pis.”

“May—”

“Pis, sekarang coba abaikan gue dulu dalam pertimbangan lo. Gini, lo; Hafidz Aldean, S.H. dengan segala kemampuan lo, lo udah dipercaya orang untuk kerja sama mereka. Bisa dibilang lo one step ahead dari orang-orang yang wisuda kemaren. Lo udah langsung dapet kerja sedangkan yang lain lagi pusing mau ngelamar kerja di mana, kayak gue ini.” Lagi-lagi Maya menyisipkan tawa getir di akhir kalimatnya. “Ambil, Pis. Kalo lo ngga ngambil cuma gara-gara gue, gue musuhin lo sampe cucu gue sarjana.”

“Emang bisa nikah tapi musuhan?” kelakar Hafidz.

“Ini di tempat umum, jangan sampe gue nge-kabedon lu ya.”

Hafidz tertawa. Ia agak lega setelah Maya meyakinkannya bahkan ikut bercanda dengan celetukannya. Maya benar, seharusnya ia tidak menjadikan Maya sebagai pertimbangan utama.

“Tapi, Maay...”

“Tapi apalagi, sih? Lo jangan bikin gue nyap-nyap deh.”

“Itu, aduh, hm... gue kerjanya di rumah sakit, gue kan takut.........”

Kafe yang semula dihiasi suara merdu Taylor Swift tiba-tiba saja bercampur dengan gelak tawa Maya yang amat kencang. Untungnya saja kafe sepi sehingga Maya tak perlu ribet-ribet menahan malu. Ia benar-benar tertawa dengan puas hingga air mata yang keluar bukan lagi air mata sedih, melainkan air mata komedi.

“Pis, lo kan kerja ngga sampe malem ih. Ada-ada aja, deh.” ledek Maya.

“Kalo lembur, gimana?”

“Selembur-lemburnya orang hukum di rumah sakit, kerjanya ngga bakal di ruang rawatnya Pis. Lagian kok bisa deh keterimanya di rumah sakit?”

Hafidz mengerucutkan bibirnya, selain Maya, tempat kerjanya memang jadi pertimbangan terbesar. “Itu, gue pernah bikin karya tulis ilmiah tentang hukum kedokteran soalnya. Tiba-tiba gue dicall dapet tawaran kerja di sana, tapi harus lolos seleksi berkas gitu. Jadi yaudah, waktu jaman-jaman semprop tuh gue sibuk ngurusin berkas buat masuk ke sini. Eh dapet.”

“Jauh juga ya kompetensi lo sampe Surabaya.”

“Ya itu makanya gue juga heran.”

Untuk beberapa menit, keduanya terdiam. Mereka sama-sama menyibukkan diri dengan gelas minuman dan piring makanannya, atau mungkin mereka sedang menikmati sisa waktu bersama?

“Gue berangkat minggu depan. Lo mau ikut anter gue, kan?” ajak Hafidz.

“Ya pasti, lah. Masa iya gue ngga nganter lo menuju masa depan yang lebih baik?” goda Maya.

“Lah, kan udah gue bilang. Lo masa depan gue.”

“Sial, salah ngeledekin orang nih gue.”

Hafidz tersenyum.

Btw, makasih kalungnya. I'll keep it nicely.”

Kalau di atas aku bilang kafe identik dengan harum kopi, maka di dalam cerita ini, cinta identik dengan jatuh bangun. Tidak selalu manis, namun tidak selamanya menyakitkan. Maya dan Hafidz memang tidak berakhir, bahkan ini bisa jadi awal yang baru yang tentunya lebih terasa jatuh dan bangunnya. Mereka yang berjarak ruang, diselimuti kasih, namun tanpa kepastian.