Parting Ways
The truth is, airport have seen more sincere hugs and kisses than wedding halls. – Anonymous
Hafidz berdiri di depan pintu keberangkatan bersama dua koper besar, satu ransel, dan satu bantal leher yang bertengger. Ia menatap manusia-manusia di depannya satu persatu dengan lekat, lalu bergantian pula memeluk dan saling membisikkan kata perpisahan.
Ayah “Jaga diri ya, Dek. Dijaga ibadahnya juga. Nanti Ayah samper sesekali, ya.” “Iya, Ayah. Apis pamit ya, titip ibu, abang sama Abas ya. Ayah sehat-sehat, nanti Apis bakal sering-sering nelfon, Yah.”
Ibu “Ya Ampun, ngga kerasa yo anak lanangku wis gedi, udah kerja jauh. Le, makan yang sehat-sehat ya, jangan pelit sama dirimu sendiri. Ngga usah pikirin Ibu Ayah dulu, nek nanti kamu nerima gaji pertama, wis dipake buat dirimu sendiri dulu, senengin dirimu sendiri.” Ibu sudah berlinang air mata membasahi jaket yang Hafidz kenakan. “Oalaaah, anak lanangku i nanti sendirian di kota orang. Aku yo ra tego. Ibu pasti kangen kamu, Le. Pasti. Sering-sering telfon ibu, ya. Nek kowe sakit, telfon ibu, jangan dipendem sendiri ya, Le.” “Ibu sehat-sehat ya. Apis janji bakal bahagiain Ibu sama Ayah. Apis sayang Ibuuuu bangeeet.”
Mahesa “Take care, lo hebat. Kejar mimpi lo, kejar masa depan lo. Kalo ada apa-apa di sana langsung kabarin gue.” “Santai. Doain gue ya.” “Selalu.” kata Mahesa setengah berbisik. “Oiya, jangan cari cewe lagi. Seriusin tuh Maya.” Hafidz terkekeh, ia sebetulnya masih ingin memeluk Mahesa lebih lama.
Abas “Nanti sering-sering minta Ibu buat video call sama aku ya? Kamu harus jadi anak baik, makan yang banyak juga ya.” Ia mencium pipi kanan dan kiri Abas. Si bayi yang belum mengerti hanya tersenyum senang karena dicium sang kakak.
Nadir “Tiati bro. Good luck, ya. Nanti kalo gue ke Surabaya, anterin gue main ke bebek sinjay ya.” “Ngga usah bebek sinjay, lo mau ke bromo juga hayuk nanti mah. Dir, tetep jadi orang iseng ya. Gue mau lo tetep iseng sama yang lain, soalnya gue kan pergi, hehe. Cepet nyusul gue ya, Dir.”
Bagas “Meluknya jangan kenceng-kenceng bisa ngga?” todong Hafidz. “Hehe, gue nanti kangen sama lo, sedih tau.” “Dangdut.”
Ale “ABAAAAANG, anjing sih lo sekalinya lulus langsung melanglang buana.” “Jangan teriak-teriak. Ini bandara bukan kontrakan, su.” Ale tertawa. “Good luck ya, the brightest future is waiting for you“
Jidan Semenit pertama, hanya terdengar isakan dari balik pundak Hafidz. Anak laki-laki paling muda di pertemanan itu memang hatinya paling lembut. “A-abang, hati-hati ya. Lo k-kalo ngga punya d-duit disana, jangan ngga makan. Lo bi-bisa chat gue, gue pasti bantu. Jangan sakit ya, Bang.” Hafidz mengelus kepala Jidan lembut. “Dan, ngga bakal sakit gue mah. Lo sama Ale semangat ya, harus lulus tepat waktu, buat waktu-waktu terakhir lo di kampus jadi lebih berharga, ya. Istirahat juga, jangan diforsir nugasnya. Lo sama Ale harus saling jaga satu sama lain, ya.”
Rega “Bro.” Rega menepuk pundak Hafidz. “Jauh banget sih lo perginya.” “Kalo deket mah bukan pergi, melipir namanya.” “Si anjing masih bisa becanda.” “Re, titip Maya, ya.” “Itu pasti, lo ngga usah khawatir. Yang paling penting lo jaga diri di sana, sehat-sehat, ibadah jangan ditinggalin, jangan macem-macem lah pokoknya. Kerja jangan kaya orang kesetanan, yang wajar-wajar aja, kalo lo mati perusahaan bisa cari karyawan baru tapi keluarga lo ngga bisa nyari anggota baru, grup kontrakan cerdas juga ogah ngeinvite orang baru.” “Omongan lo serem.” “Jaga diri, dah itu pesen gue.”
Tasya “Gue ngga usah meluk, ya. Takut kena hantam Mas Bulan.” ujar Hafidz. “Iye dah, baek-baek dah lo di sana. Inget rumah.” “Siap. Titip Maya ya.”
Almaya Keduanya bertatapan, saling tertawa melihat satu sama lain namun air mata yang membendung siap pecah kapan saja. Hafidz mendekat, pelukannya ia buat tidak terlalu erat agar mereka terbiasa akan jarak. “Maya, gue pamit ya.” “Pis, jaga diri. Apapun itu yang nanti terjadi sama lo di sana, sebisa mungkin kabarin gue atau yang lain. Gue akan selalu jadi tempat cerita lo, even kita mungkin udah ngga bisa bikin cerita baru. Sehat-sehat disana.” “Jangan ngomong gitu. Love always works out even in the imposibblest condition, May. Siapa tau emang waktu kita bukan sekarang, kan?” Maya mengangguk. “Duh, maaf jaket lo basah gara-gara gue.” “Nangis lagi aja ngga-papa. Gue juga ngga mau buru-buru lepasin lo, kok.” Gadis itu menurut. Ia ingin menikmati momen menyedihkannya ini. Ia ingin puas-puas memeluk Hafidz, menghafalkan wangi parfum Hafidz, ia ingin Hafidz. “Take care.” “May, I love you, I really do.” Satu kecupan berhasil mendarat di pipi basah Maya sebagai tanda selamat tinggal yang lebih jelas lagi.
Hafidz kini sudah siap—sangat siap untuk meninggalkan seluruh bagian hidupnya di kota ini. Dengan air mata yang tersisa, ia melambaikan tangan seraya memasuki pintu keberangkatan. Maya menatap punggung yang menjauh itu dengan nanar. Ia kehilangan setengah dirinya—untuk waktu yang sangat panjang.