Kedai Nasi Goreng dan Bicara Empat Mata

Udah di bawah, May. Udah siap kan?

Udah, bentar ini turun dulu yaa.

Maya lekas masuk ke lift yang terbuka, bersamaan dengan ditutupnya telfon dari Hafidz. Entah mengapa, malam ini suasananya terasa berbeda. Padahal biasanya ketika mereka pergi makan malam bersama, rasanya seperti bahagia meliputi seluruh dada, tetapi kali ini ada rasa cemas yang tersembunyi di balik bahagia mereka.

“Lama ya? Tadi agak rame di lift.” sapa Maya saat tiba di dalam mobil Hafidz.

“Santai. Mau makan apa kita?”

Maya mengangkat bahunya, ia mengikuti apa yang Hafidz mau. “Bebas.”

“Nasi goreng yang di deket perempatan aja gimana?”

“Boleeh.”

Mobil Hafidz melaju dengan kecepatan sedang diiringi suara Meghan Trainor dalam lagunya, Just a Friend to You. Maya segera paham bahwa situasi akan menjadi sangat canggung apabila ia dan Hafidz sama-sama diam dan suara Meghan Trainor akan menguasai batin mereka berdua dengan lirik yang penuh sindiran.

“Apa kabar, Pis?” tanya Maya.

When you say I'm just a friend to you Cause friends don't do the things we do

Hafidz tergelak, “Buset, nanya apa kabar berasa kita lagi berangkat reuni tau ngga sih? Gue baik kok. Emang keliatan kayak sakit ya gue?”

Everybody knows you love me too

“Haha, engga gituuuuu. Maksud gue, apa kabar rencana lo di semester tujuh?” ralat Maya.

Tryna be careful with the words I use

“Rencana? Hmmm, ya gitu. Seminar proposal kalo bisa di tahun ini, sekitar bulan November gitu lah. Sidangnya yaaa kalo bisa awal tahun depan udah sidang.” jawab Hafidz. “Kalo lo, gimana?”

I say it cause I'm dying to I'm so much more than just a friend to you

“Sama sih, Pis..”

When there's other people around You never wanna kiss me

“Asik, bisa wisuda bareng dong kita?”

“Semoga gitu sih.”

“Berarti, kita bakal sibuk banget ya semester ini?” lanjut Hafidz. Suaranya agak melemah.

You tell me it's too late to hang out And you say you miss me

“Pasti Pis. Kita sama-sama di semester akhir, udah ngga bisa leha-leha lagi. Mungkin gue juga bakal jarang ke kontrakan, sih..” ujar Maya. “Ngga papa, kan?”

Hafidz mengangguk. “Ngga papa, May. Emang harus fokus ngga sih? Walaupun nanti gue juga sibuk skripsian tapi sebisa mungkin, gue bakal luangin waktu buat kita berdua. Ya, ngga berdua juga ngga papa sih karena pasti diekorin sama anak kontrakan.”

And I loved you from the start So it breaks my heart

Maya ikut tertawa bersama Hafidz. Ia setuju dengan usulan Hafidz mengenai intensitas mereka dalam menjalankan pendekatan pada semester tujuh yang harus diminimalisir demi menyelesaikan studi dengan baik. Dengan hal ini, mereka sama-sama paham bahwa mungkin malam ini jadi penutup hari-hari manis mereka.


“Nasi goreng ampelanya satu sama bakmi goreng basonya satu ya, Mang. Jangan pedes-pedes.” pesan Hafidz kepada Mamang nasi goreng. Si Mamang mengangguk pelan sambil terus menggoyang wajan di atas kompor bertekanan tinggi.

“Mau duduk di mana?” tanya Maya. Kedai nasi goreng malam ini cukup ramai, mungkin mahasiswa sudah seluruhnya kembali ke area kampus. Kelihatannya, malam ini mereka tidak mendapat bangku di kedai nasi goreng.

“Di trotoar aja boleh ngga sih?” timpal Hafidz setelah ia mengabsen seluruh bangku di kedai yang terisi penuh.

“Kita mau makan nasi goreng apa mau nutup usia, sih?”

“Ya abisnya penuh, sayang.”

Maya mendelik. Baru kali ini Hafidz memanggilnya dengan panggilan seperti itu di keramaian. “Gue goreng ya lo.”

“Nasi dong gue, hehe.”

“Basi iye.”

Setelah perdebatan yang cukup panjang mengenai tempat duduk, akhirnya mereka memilih duduk di depan warung kelontong di seberang kedai nasi goreng. Tadinya Maya sempat sangsi, bagaimana jika pemilik warung tidak memperbolehkan mereka makan di situ? Namun bukan Hafidz jika tidak ada ide, maka ia membeli dua botol teh kemasan dan satu bungkus kerupuk ikan dari warung, lalu ia meminta izin untuk duduk di bangku depan warung.

“Jangan ngomong, nanti keselek.” potong Maya sebelum lelaki di depannya mengeluarkan sepatah kata.

“Belom juga ngomong...” tukas Hafidz.

“Ya ngga usah, ngomongnya nanti aja kalo udah abis.”

Hafidz menurut. Selama sepuluh menit mereka terdiam, hanya berkutat dengan piring makanan masing-masing ditemani suara kendaraan yang berlalu-lalang.

“Udah boleh ngomong belom?” tanyanya sambil menunjukkan piring kosongnya.

Maya mengangguk sembari menegak teh kemasannya. “Mau ngomong apa sih?”

“Ke pantai, yuk. Mau ngga?

Jujur saja, Maya hampir tersedak mendengar perkataan Hafidz. “Ulangin.”

“Ke pantai. Mau ngga?”

“Gila, udah malem. Gue takut masuk angin, Pis. Besok udah kuliah, kapan-kapan aja laaah.”

“Yahhh.” sahut Hafidz. “Tapi janji ya kapan-kapan kita ke pantai?”

“Iya janjiii.” balas Maya menautkan kelingkingnya pada milik Hafidz.


Keduanya sudah kembali dari kedai nasi goreng, bahkan mereka sempat mampir membeli es krim di McDonalds. Kini keduanya terdiam sembari menghabiskan es krim di parkiran apartemen Maya. Lagi-lagi pilihan lagu di radio seakan-akan menjadi soundtrack hidup mereka. Kali ini Jason Mraz dan Colbie Caillat yang mengambil peran.

Do you hear me, I'm talking to you Across the water across the deep blue ocean Under the open sky, oh my, baby I'm trying

“Gue ngga pernah kepikiran bakal bisa 'deket'sama lo.” celetuk Hafidz tiba-tiba. “Selama ini, gue pikir selamanya kita bakal jadi temen deket aja. Gue kira gue bakal jadi bayang-bayang Hugo atau anak rohis yang naksir lo waktu SMA aja. Intinya, gue ngga berharap lebih deh buat jadi se-berarti itu di hidup lo.”

Boy, I hear you in my dreams I feel your whisper across the sea

“Kenapa gitu?”

“Karena gue orang baru di hidup lo. Ada Rega sama Bang Adit yang notabene lebih dekat dan lebih mengenal lo. Jujur ya, waktu sebelum Rega naksir Inas, gue takut dia naksir lo. Gue jiper banget waktu itu, May.”

Maya terkekeh. “Ada-ada aja. Gue kenal Rega udah dari orok, Pis. Ngga ada minat sama dia.”

I keep you with me in my heart You make it easier when life gets hard

“Ya, perihal hati mah siapa yang tau, May. Tuhan tuh Maha membolak-balikkan hati. Hari ini lo bilang ngga suka, besok paginya lo bisa jatuh cinta setengah mati.”

“Terus, kenapa lo berani deketin gue?”

Lucky I'm in love with my best friend

“Agak jahat sih jawaban gue. Tapi gue berusaha jujur aja, deh. Sampai hari ini, gue masih berterima kasih banget sama Abas yang bikin kita berdua makin deket dan ehm,” Hafidz ragu melanjutkan kalimatnya.

“Dan apa?”

“Dan berterima kasih juga sama Hugo karena dia udah memperluas kesempatan gue untuk ngegantiin peran dia di hidup lo. Ada suatu hari di mana gue pede banget bisa gantiin dia, gue mikir gue ini capable banget buat lo, makanya gue berani deketin lo.”

Lucky to have been where I have been

Maya mengangguk-angguk mendengar jawaban Hafidz. Memang terdengar agak jahat, tapi ia menghargai usaha Hafidz untuk mendekatinya.

“Tapi, ada hari di mana gue mikir juga kalo gue ini belom ada apa-apanya. Gue pengen banget bahagiain lo, gue pengen banget seriusin lo, tapi gue belom punya apa-apa, gue belom jadi apa-apa. Gue mau kita berdua serius dulu nyelesaiin studi, terlebih gue. Gue ragu—”

“Ragu kenapa?” potong Maya.

Lucky to be coming home again Ooohh ooooh oooh ooh ooh ooh ooh

Hafidz menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. Tenggorokkannya terasa kering walaupun beberapa menit yang lalu ia baru saja menghabiskan es krim miliknya. “Gue ragu dengan kesiapan gue untuk macarin lo sekarang. Gue takut nyakitin lo suatu saat, walaupun dengan kayak gini juga nyakitin lo, gue ngegantungin lo.”

“Emang.”

“Jangan marah...” pinta Hafidz.

“Hafidz,” panggil Maya. Pendingin di mobil Hafidz tiba-tiba seperti mengembuskan angin nol derajat, menggigil. “Terima kasih buat tekad lo untuk jadi Hafidz yang 'stabil' dan 'siap' sebelum lo seriusin gue. Terima kasih. Gue jadi sadar dengan lo bilang gini, kalo misalkan studi kita di atas segalanya. Masa depan kita masing-masing di atas segalanya.”

Hafidz mengangguk, ia meraih tangan gadis di sebelahnya. Memberi keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja. Hening menjalar di sekitar mereka.

They don't know how long it takes Waiting for a love like this

“Tapi, lo ngga bakal pergi kan?” tanya Maya, ia menoleh ke Hafidz.

“May, walaupun kita ngga ada kewajiban untuk selalu bareng-bareng tapi gue akan selalu usahain untuk ada buat lo. Apapun itu, gue akan selalu ada di dekat lo.”

Maya hanya menatap Hafidz, tidak ada jawaban. Ia sendiri tidak tahu apakah ia puas atau tidak dengan jawaban Hafidz.

Everytime we say goodbye I wish we had one more kiss

“May, mau nunggu kan?” pinta Hafidz. Matanya teduh mengarah ke manik Maya.

I'll wait for you, i promise you, I will.

“Gue selalu nunggu.”

Dua detik kemudian, mata mereka yang beradu pandang semakin lekat walaupun keduanya kini saling menutup mata. Tangan Hafidz sudah terlebih dahulu bersandar pada wajah Maya sebelum bibirnya menjumpai bibir gadis di sampingnya.

Manis.

Wahai pepohonan di parkiran apartemen, tolong jaga rahasia, ya.