The Day When We Have to Talk
“Duduk dulu, mau minum apa?”
Hafidz baru saja tiba satu menit yang lalu di apartemen Maya, hawa canggung benar-benar langsung menyelimuti sekitar mereka. Ia menyerahkan kantong plastik berisi sate padang yang ia beli di dekat kampus untuk meredakan suasana. Tidak biasanya Maya bertanya kepada tamunya ingin minum apa, karena biasanya ia akan persilakan tamunya untuk mengambil minum sendiri sesuka hati.
“Apa aja bebas.”
“Cokelat anget, mau?” tanya Maya.
“Boleh.”
Maya bergegas pergi ke mini barnya, ia menuangkan bubuk cokelat ke dalam dua cangkir putih, lalu menyiramnya dengan air hangat. Ia gugup. Bagaimana ia akan bicara tentang hatinya setelah lima bulan saling menjauh?
“Pis,”
“May,”
“Eh, lo duluan aja.” lanjut Maya canggung setelah meletakkan cangkir ke meja ruang tamu.
“Maaf.” ujar Hafidz menunduk. “Maaf gue lari dari masalah. Maaf gue menjauh dari lo kemaren-kemaren, tanpa kejelasan. Gue tau gue cupu banget jadi cowo, padahal harusnya bisa-bisa aja kita tetep 'deket' selama skripsian, apalagi di awal gue udah minta tolong ke lo supaya jadi support system gue. Tapi ya balik lagi, gue ini cupu, May. Gue ngga berani untuk ambil resiko di dalam hubungan, tapi nyatanya ketika gue ngga berani ambil resiko, gue malah nambahin masalah. Gue minta maaf. Gue paham lo marah banget sama gue, bahkan lo bisa ngga bales chat gue berhari-hari. Tapi gue mohon kasih gue kesempatan sekali lagi, May. Gue akan usaha sebesar mungkin untuk ngga nyia-nyiain kesempatan itu.”
“Jujur, gue marah banget sama lo.” tukas Maya. Nadanya dingin dan kecewa.
“Iya, gue tau. Ngga mungkin lo ngga marah sama gue, orang gue langsung ninggalin lo abis ciuman waktu itu.”
“Bisa ngga bahas yang itu dulu ngga sih?”
“Iya, sorry.” Hafidz kembali menunduk.
“Gue pernah bilang sama lo, kalo gue suka, gue akan setia sama orang atau barang itu selama mungkin, sampai akhirnya objek itu hilang atau nyakitin gue. Ketika gue suka sama lo, ya gue setia, gue tunggu lo karena kita punya kesepakatan, dari April sampe sekarang mau April lagi, Pis. Setaun, bayangin. Lo udah bawa gue ke acara tunangan abang lo, lo udah kenalin gue ke keluarga lo, lo udah... shit gue benci harus bahas ini tapi lo udah nyium gue juga. Harapan gue semakin lama semakin tinggi walaupun pernah jatoh sejatoh-jatohnya.”
“Harusnya gue ngga ngasih harapan, ya May kalo gue belum bisa ngajak lo pacaran?”
Alih-alih menjawab, Maya balik bertanya. “Kita ini apa sih, pis? Jawab gue.”
Waktu serasa berhenti di sekeliling Hafidz. Pertanyaan yang selama ini ia doakan agar tidak pernah terucap, akhirnya muncul juga. Otaknya bekerja keras mencari jawaban terbaik.
“Pis, kita ini apa?” Maya mengulang pertanyaannya sekali lagi.
“Lover.” jawab Hafidz. Ada ragu di dalamnya.
“Temen, kan?” tanya Maya memperjelas.
“Ngga.”
“Terus?” Mata Maya mulai buram
“Kita lebih dari temen, Maya.”
Sungguh, pertahanan Maya saat itu juga bubar. Matanya meneteskan sesuatu yang seharusnya ia sembunyikan dari hadapan laki-laki itu. Semalaman tadi, ia sudah belajar bagaimana caranya menyembunyikan emosi dan tetap berkepala dingin, tetapi seluruhnya sia-sia. Ia hancur dengan jawaban laki-laki itu.
“We aren't, Hafidz.” isaknya. “Kita cuma temen yang kebetulan jatuh cinta di saat yang sama.”
Hafidz mengacak rambutnya gusar. Kalimat Maya barusan benar-benar menampar dirinya.
“Ngga ada yang namanya kebetulan, May. Tuhan kasih satu waktu yang sama itu ada maksudnya.”
“Tapi lo ngga ngegunain kesempatan itu dengan baik.”
Ah, ditampar lagi.
“I-itu emang salah gue.” lirih Hafidz.
“Lo tau lo salah tapi lo selalu berkilah!” sentak Maya. Ia refleks berdiri ketika ia meninggikan suaranya. Sakit sekali rasanya, padahal kini Hafidz menggenggam jemarinya agar ia tenang.
“Almaya, maaf.” Laki-laki itu kini merengkuh tubuh gadisnya, pelan-pelan sekali agar apa yang rapuh tidak hancur berantakan. Tangannya bergerak dari atas surai hingga ujungnya, ia ulangi berkali-kali agar gadisnya tahu bahwa ia masih mencintainya dengan besar yang sama.
“Bilang, bilang sama g-gue kalo kita cuma temen, Pis. Bilang.”
Hafidz menggeleng seraya melepas pelukannya. Ia mengangkat dagu gadis itu, lalu menatapnya lekat-lekat. Keempat mata itu beradu pandang dengan keadaan sama-sama sembab. “Maya, ayo pacaran.”
“Muka gue bengkak banget ya?” tanya Hafidz.
“Lo nangis, masa iya ngga bengkak.”
“Yaaa, abisnya sedih sih.”
“Gue baru liat lo nangis lagi deh, terakhir waktu lo diomelin sama ketua osis pas SMA.” ujar Maya.
“Jangan bahas itu lagi dong. Lo juga nangis ya waktu itu, kita kan diomelinnya bareng sial.”
“Gara-gara anak kelas sepuluh sih itu, acara tujuh belasan jadi ancur. Padahal konsepnya udah bagus banget ya waktu itu kita sampe lembur di sekolah.”
Mereka kini duduk di sofa sambil menikmati dua porsi sate padang yang Hafidz beli tadi siang ditemani satu teko minuman berperisa jeruk. Keadaan keduanya jauh lebih baik dibanding beberapa saat lalu, hanya saja wajah mereka masih sama-sama sembab. Keduanya menangis hebat tadi, benar kata Rega, pasti pertemuan ini akan diisi tangis dan teriakkan.
“Cita-cita lo masih sama, May?” tanya Hafidz tiba-tiba. Maya mengangguk.
“Masih lah, penyiar radio. Gue mau suara gue didenger satu Indonesia. Kalo lo?”
“Mungkin.”
Maya mengernyitkan dahinya. “Kok mungkin?”
“Namanya juga anak FH, May. Cita-cita bisa berubah dua bulan sekali.”
“Dih, itu mah lo nya aja yang ngga konsisten sama cita-cita lo.” ledek Maya. “Tetep lah, legal di startup unikorn, kerja di gedung tinggi sambil pake lanyard coach, terus makan siangnya saladstop.”
“Itu mah mbak-mbak SCBD, bukan gue.”
“Aamiin-in aja napa? Sulit banget kayaknya.”
“Aamiin.”
Handphone Hafidz bergetar, layarnya menunjukkan pesan dari grup UKM di jurusannya, “Gue balik dulu ya, ada perpisahan sama anak ukm gue nih.”
“Asik wisudawan banget nih.” Maya tertawa.
“Kan lo juga.” balas Hafidz. “Duluan ya, istirahat loh May. Ini sampahnya gue yang buang aja sekalian gue turun.”
“Iya bawel.”
“Hati-hatinya mana ih? Masa ngga dihati-hatiin?” tukas Hafidz sambil manyun.
“Hati-hati, temanku.”
Keduanya tergelak, bahkan Hafidz sempat menyentil dahi Maya pelan, lalu keduanya saling melambaikan tangan seraya menuntun Hafidz keluar dari pintu apartemen Maya. Hati Maya terasa hangat, bahkan lunglai yang belakangan ini ia rasakan lenyap begitu saja. Bebannya telah hilang.
Ah, memulai pertemanan dari awal lagi memang pilihan yang tepat.