Semester Tujuh

Semester ini berjalan seperti semestinya bagi setiap mahasiswa.

Yang tua dengan skripsinya, yang di tengah dengan tugasnya dan yang muda dengan ilmu pengantarnya.

Kontrakan cerdas tidak pernah lengkap isinya di satu waktu. Ada saja yang sibuk dengan organisasinya atau mengerjakan skripsi di luar kontrakan. Keadaannya lengang, tidak seperti saat Abas masih merangkak kesana kemari hanya untuk melihat manusia mana yang terjaga di rumah ini.

Pernah sih, suatu saat kontrakan lengkap bahkan dengan Maya, Tasya, Adit, Mahesa dan tunangannya serta Ayah dan Ibu Hafidz. Hari itu mereka merayakan ulang tahun pertama Abas, lengkap dengan kue bergambar kartun mobil dan balon-balon berisi heliumnya. Suasana kontrakan terasa sangat hangat pada saat itu, namun lagi-lagi hal tersebut tidak bertahan lama. Dua jam setelahnya, keadaan kembali normal. Ruang tengah yang lengang dan hanya bersisa balon-balonnya saja.


November, 2021

Maya melewati semester ini dengan amat baik. Ia diberkahi dosen pembimbing yang suportif sehingga pada pertengahan Oktober, Maya melaksanakan seminar proposalnya. Tentu, ia mengundang anak-anak kontrakan untuk datang di seminar proposalnya, namun sayang seribu sayang, Hafidz tidak hadir hari itu. Hafidz ada kepentingan di luar kampus yang bahkan hingga detik ini Maya tidak tahu kepentingan apa yang ia penuhi. Hafidz hanya mengirimkan satu buket bunga lily putih dan merah muda ke apartemennya dengan ucapan yang menurut Maya tidak ada bedanya dengan ucapan dari dosen pembimbingnya. Sedari pertengahan Oktober itu, komunikasi antara Maya dan Hafidz menyempit. Keduanya jarang mengirimkan pesan, apalagi bertemu. Sejujurnya ia rindu, tetapi ia ingat malam itu ia berjanji akan menunggu.

Hari ini, Hafidz akan melaksanakan seminar proposal. Maya sangat menunggu momen ini, karena mungkin hanya dengan ini ia dapat bertemu lagi dengan Hafidz.

“KAK MAYAAAA!!!!!” sapa Jidan setengah teriak saat melihat sosok Maya memasukki ruang seminar.

Maya tentu saja langsung menghampiri dan merangkul adik kecilnya yang sudah beranjak dewasa itu. “Mana yang lain?”

“Lagi bantu bagi-bagi konsum, kak.”

“Lah, udah selesai?”

“Udah, kak. Tadi sesi tanya jawab sama ngasih sarannya cepet, kata dosen juga proposalnya Bang Apis udah cakep, ngga ada cacat. Hebat dah.” jelas Jidan. “Ayo, ke Bang Apis.”

Maya mengekor Jidan yang gesit melewati orang-orang di ruang seminar menuju ruang belakang. Itu dia, lelaki berkemeja hitam dengan kacamata bertengger di telinganya. Raut muka laki-laki itu langsung berubah ketika melihat Maya dari kejauhan.

“Selamat semprop, Apis.” ucap Maya begitu berhadapan dengan Hafidz. Ia memeluk Hafidz, sudah biasa di depan teman-temannya.

“Kok lo telat?!”

“Lo yang sempropnya kecepetan, Mahasiswa Berprestasi.”

Hafidz terkekeh diikuti yang lainnya. “Ayo, tempat biasa lah.”

“Lah ayo, dari tadi gue udah nunggu saat-saat lo ngajak kita semua makan.” timpal Nadir.

“Tau ya, nyemprop doang ngga makan apa rasanya.” imbuh Bagas.

“Yaudah dih, ayo-ayo ke mobil.”

Terhitung, ini kumpul kali kedua mereka di semester tujuh yang hampir berakhir ini. Kalian tahu raut wajah rindu? Itu benar-benar terpancar dari wajah masing-masing manusia yang sedang bersama ini. Terlebih bagi Jidan dan Ale yang akan segera kehilangan keempat abangnya dari dunia kampus.

“Pesen aja, gue mau ke kamar mandi dulu.” titah Hafidz, Mobil baru saja menepi di parkiran Tempat Biasa, tetapi mereka sudah bergegas turun dan mencari tempat duduk.

Rega mencatat seluruh pesanan dengan apik, lalu memberikannya kepada pelayan. “Itu aja mba. Makasih.”

“Gimana kuliahnya?” tanya Tasya membuka percakapan.

“Plat jakarta, B.”

“Ya gitu.”

“Revisi.”

“Sulit.”

“Uji nyali.”

Kelima laki-laki itu menyerahkan jawaban singkat yang dapat dimaklumi. Bisa ditebak mana jawaban yang sedang berkutat dengan semester akhir dan yang sedang duduk di semester tengah. Maya hanya cekikikan melihat Bagas dan Jidan yang sibuk merutuki dosen mereka masing-masing.

“Udah lama ya ngga ngumpul gini.” ujar Hafidz yang baru datang dari toilet.

“Ye, ngga ngumpul kan karena ada yang sibuk banget sibukk, iye kan Dir?” jawab Bagas.

“Tau, sibuk bener buset ampe sprei kontrakannya rapi bener kayak kaga pernah ditidurin.”

“Gue ngerjain 's' di perpus, bro. Kan gue udah bilang.” bela Hafidz. Ia menyebut kata skripsi dengan 's' atas kesepakatan mereka waktu silam.

“Kaga balik-balik tapi. Lo kemping di perpus?” cela Rega,

“Ooh, abis jatohin dot bayi di perpus dia sekarang nenda di perpus. Nyaman lo gue liat-liat di perpus.” ledek Tasya diiringi tawa yang lain.

Acara makan-makan kali ini memang lebih seperti acara terima rapot di mana para wali murid saling bertanya mengenai perkembangan anak satu sama lain dan tidak lupa, ajang meledek Hafidz si setengah sarjana. Mereka menumpahkan keluh kesah satu sama lain yang kadang diselipkan kata penyemangat berbalut umpatan, ah tapi begitu lah kultur pertemanan mereka, kalau kata Ale 'ngga lengkap kalo ngga misuh”.

Tak sampai lima belas menit, makanan di atas meja sudah licin tandas. Kerang-kerang hanya bersisa cangkangnya, dan gelas-gelas hanya tersisa sedotannya saja.

“Mau ngapain abis ini?” tanya Ale. Tampaknya ia belum mau kebersamaan ini berakhir.

“Ngikut yang abis semprop gue mah.” sahut Nadir. “Gimana, Pis?”

“Balik.” jawab Hafidz singkat.

“LAH?!!! KOK BALIK SIH” protes yang lainnya.

“Abas mau dateng.”

“Demi apa?”

“Ayo balik.”

“Ale, panasin mobil lo gece.”

“Pis, bayar cepet.”

“ASIKKK, ngga sabar ketemu Abas!!!!!”

Ah, mereka tampaknya lebih rindu Abas.


“ABAASSSSS ADUH GEMESNYA SAYANGKU CINTAKU” pekik Rega.

Abas baru saja turun dengan kaki kecilnya dari gendongan Adila, tunangan Mahesa. Jalannya tergopoh-gopoh, namun ia tidak menyerah untuk tetap menghampiri abang-abangnya dengan kakinya sendiri.

“Ea, ea, eaaaaa” kata Abas saat ia berhasil sampai di kaki Rega. Segera ia digendongnya oleh Rega, tentunya seraya dihujani ciuman di kedua pipi tomat milik Abas.

“Si Rega dipanggilnya ea ea sama Abas, meuni jadi kayak anak dahsyat gitu.” ledek Nadir.

“Iri aja lo.” sergah Rega yang mendengar ledekan Nadir walau dari kejauhan.

Mahesa yang baru saja turun dari mobil segera menghampiri adiknya dan memberi pelukan hangat. “Selamat bro, dikit lagi kelar.”

“Apanya kelar? Yang ada baru mulai, Bang.” jawab Hafidz. “Doain gue, ya.”

“Selalu.”

Ah, melihat ruang tengah yang ramai dipenuhi tawa dan celotehan manusia seperti ini memang lebih nyaman dibanding melihat ruang tengah yang berdebu karena tidak pernah dihuni oleh yang punya. Hafidz yang duduk di ujung ruangan memilih untuk tidak nimbrung bicara, melainkan menikmati suasana saja di hari (setengah) bahagianya ini. Karena ia tahu hal ini tak akan lama, bab empat skripsinya segera menunggu dituntaskan.