Wisuda April

“Wisudawan berpredikat cumlaude, Program Sarjana Fakultas Hukum dengan peraih IPK tertinggi adalah Hafidz Aldean, sarjana hukum dengan IPK 3,89.”

Suara Master of Ceremony pada acara wisuda hari ini menggelegar di penjuru auditorium, membacakan nama-nama wisudawan predikat cumlaude membuat siapa saja yang mendengarnya merinding apalagi ketika bilangan IPK dibacakan ke seluruh hadirin.

Maya tertegun saat mendengar nama Hafidz dibacakan. Setahu Maya, Hafidz memang termasuk mahasiswa berprestasi di jurusannya, tetapi ia tidak pernah tahu bahwa Hafidz masuk jajaran IPK tertinggi. Rega dan Tasya langsung menyenggol lengan Maya sambil berkata, “Buset cowo lo keren abis.”

“Hafidz gitu, loh.” respon Maya sambil mengangkat kedua alisnya naik turun.

“OOOHH udah jadi 'cowo' nih?” ledek Tasya.

“Ngga tau deh, liat nanti aja.”


“Mana sih si Apis? Lama banget.” keluh Bagas sambil mengipaskan topi wisudanya. Gerah.

“Namanye juga wisudawan dengan IPK tertinggi, Gas. Paling diajak cipika-cipiki dulu sama rektor.” sahut Tasya.

Can't relate. Lulus aja udah bersyukur bener.” ujar Rega.

Kelima wisudawan itu—Maya, Tasya, Rega, Nadir, dan Bagas—menunggu Hafidz di bawah kanopi halte bis kampus. Mereka memang sudah janji untuk foto bersama di depan gedung rektorat. Untuk kenang-kenangan, katanya. Begitu pula dengan Ale dan Jidan, si ditinggal para abangnya, mereka juga berada bersama para wisudawan.

“May, telfonin Apis kek.” bujuk Nadir. Mukanya mulai kemerahan diterpa sinar matahari.

“Ngapain? Anaknya udah kesini, tuh.” kata Maya menunjuk Hafidz yang berlari-lari kecil dari kejauhan.

Wajahnya terlihat agak lelah, ya wajar saja sih pasti si wisudawan berprestasi ini harus bermanis-manis ria di depan banyak orang.

“MAAF BANGET ASLI MAAF, JANGAN MARAH.” sergap Hafidz sebelum teman-temannya menelan ia bulat-bulat.

“Marah ah.” balas Rega manyun menjauhi Hafidz.

“Ih jangan gitu atuh ayang.”

“Geli, geli, pait pait pait.” timpal Bagas,

“Bang, ayo atuh foto kasian itu Ucan udah nunggu daritadi.” tegur Jidan kepada abang-abangnya.

Ucan di seberang mereka tersenyum kikuk bersama tripod dan kameranya. Ucan ini teman satu kelas Jidan di jurusannya, ia memang terkenal ahli dalam fotografi sehingga setiap ada momen wisuda, Ucan kebanjiran job. Tetapi karena hari ini adalah hari wisudanya abang-abangnya Jidan, maka ia meluangkan jadwalnya dari jauh-jauh hari untuk memotret keluarga kecil dari kontrakan cerdas tersebut.

“Foto sendiri-sendiri dulu atau langsung yang barengan ini, Dan?” tanya Ucan.

“Yang bareng dulu aja, Can.” kata Jidan. Ucan mengangkat jempolnya tanda ia paham.

Sesi foto pertama khusus bagi para wisudawan dan wisudawati hari ini. Dengan pose formal, Maya dan Tasya berdiri di tengah dan diikuti oleh para laki-laki di sebelahnya, setelah itu dilanjut dengan pose-pose bebas nan konyol favorit mereka. Tak lupa Ale dan Jidan juga ikut berfoto dengan baju batik kembar mereka yang sengaja dibeli untuk menghadiri wisuda hari ini. Jidan dan Ale bilang ingin terlihat seperti keluarga, padahal tanpa batik kembar pun mereka memang keluarga yang hangat.

Di tengah pose-pose yang agak melelahkan, seorang batita berjalan tergopoh-gopoh ke arah mereka. Bastian si anak gemas datang diikuti Mahesa dari belakang. Anak itu menjatuhkan badannya kepada Rega yang segera berjongkok saat melihat anak itu dari kejauhan.

“Eaaaaaa” panggil Abas.

Barisan delapan orang itu langsung bubar dengan kehadiran Abas, semuanya berkumpul di tengah untuk menyapa Abas yang nampaknya enggan digendong. Walaupun formasi foto bubar, Ucan dengan kameranya tetap memotret momen-momen indah tersebut. Enam manusia bertoga, dua manusia berbatik sama dan satu batita dengan wangi minyak telonnya.

“Kak, kayaknya foto sama bayinya bagus, tapi jangan formal kak.” saran Ucan. “Bayinya boleh digendong sama Kak Apis aja, atau Kak Bagas juga nggapapa.”

“Abas, gendong yuk sini. Mau oto itu oto, tuh liat depan.” Hafidz berusaha membuat Abas agar mau digendong dan berhasil.

Dengan formasi abstrak, Ucan terus-terusan menjepret shutter kameranya dan meminta mereka bergantian satu-persatu foto bersama Abas.

“Ais, Aya, Ais, Aya.” Abas berceloteh.

“Kenapa sayaaang?” tanya Nadir yang sedang kebagian menggendong Abas. Telapak Abas kini kembang kuncup menunjuk ke arah Hafidz dan Maya. “Oalah. APISS MAYAAA INI ANAKNYA MAU SAMA LO BERDUA”

Hafidz dan Maya sama-sama kaget ketika Nadir setengah berteriak memberi tahu bahwa Abas ingin foto dengan mereka, sementara Rega dan Tasya sudah senyam-senyum sendiri.

“Asikkk pengantin baru.”

“Pasutri emang beda ya.”

“Awas nanti dijulidin base kampus lagi.”

Hafidz terkekeh, “Alah, kalo udah lulus masih dijulidin mah keterlaluan sih.”

“Udah, Can. Cukup kayaknya foto bertiganya, gantian yang lain tuh si Tasya sama Mas Bulan juga mau.” ujar Maya menyudahi sesi foto bertiga. Ia melipir ke bawah pepohonan dan duduk bersama Jidan dan Ale, sementara Hafidz dan Abas pergi entah kemana.

“Rasanya diwisuda gimana, kak?” tanya Jidan penuh penasaran. Matanya berbinar-binar saat bertanya.

“Biasa aja, Dan. Beban skripsian mah ilang, tapi abis itu langsung kepikiran caranya nyari kerja. Poin plusnya tuh ngurangin beban ortu kan jadi ngga bayar UKT lagi.”

“Jadi pengen wisuda sekarang.” timpal Ale. “Kenapa ya gue ngga bisa wisuda bareng lo-lo semua kak?”

“Ada waktunya, Le. Nikmatin aja dulu, nanti kalo kangen rungsing ngga bisa muter balik waktu soalnya.” saran Maya.

“Iya sih, tapi gue langsung ditinggal empat abang gue di kontrakan, langsung sepi banget kak. Ngga ada lagi yang suka rusuh-rusuh di kontrakan.”

“Kan si Ucan mau pindah kesitu katanya?”

“Iya sih... Tetep aja rasanya beda kak.”

“Ya yaudah sekarang lo tatap-tatap aja tuh abang lo semuanya, peluk-pelukin sebelum pada balik ke rumah.” canda Maya diikuti ekspresi geli kedua adiknya.

Tiba-tiba, Abas dengan jalannya yang masih oleng sana oleng sini, kembali entah dari mana sambil membawa sebuket bunga. Wajahnya sumringah sekali menghampiri Maya, lalu menyerahkannya. Hafidz di belakangnya mengikuti sambil tersenyum teduh.

“Aya, Aya.” panggil Abas.

Maya tertegun menatap lelaki yang kini menggendong Abas, begitu pula teman-temannya. “Ini... apa?”

“Buat lo.” jawab Hafidz lugas.

“Hah?”

“Ummm, congraduation gift?”

Gift doang, nembak kaga.” celetuk Rega yang dibalas pelototan oleh yang lainnya. “Becanda, hehe.”

“Disimpen dulu aja, titip ke mamah. Takut ilang.” bisik Hafidz kepada Maya.


Setelah sesi foto pada hari itu berakhir dan Ucan yang punya jadwal di tempat lain, mereka masing-masing kembali bersama keluarganya. Maya sempat menyapa orang tua Hafidz sebelum sesi foto selesai, bahkan berfoto bersama. Tak lupa Hafidz juga mengantarkan Maya kembali ke mobil, lalu bersalaman dengan Mama Maya.

“Selamat wisuda, Apis. Lo keren banget. Semoga cepet dapet kerjaan yang lo idam-idamkan ya.” ujar Maya sebelum masuk ke mobil. “Makasih juga loh bunganya.”

“Dih apaan sih pake selamat wisudaan gitu orang kita sama-sama wisuda? Lo juga keren tau, cantik juga hari ini. Nyaru sama pohon.” ledek Hafidz. Maya hari ini memang mengenakan kebaya warna hijau kelabunya.

“Lo kapan berenti ngeselinnya deh?”

“Ngga bakal, sih. Hehe. Yaudah, hati-hati May. Tantee, hati-hati pulangnya ya.”

“Makasih loh, nak Hafis. Nanti kapan-kapan main ke rumah lagi ya.” seru Mama Maya sembari menurunkan kaca mobil. “Tante duluaaan ya, hati-hati juga nak. Salam buat ibu ayah ya.”

Hafidz mengangguk pelan sembari menutup pintu mobil Maya, lalu melambaikan tangan kepada mobil yang menjauhi lahan parkir. Semakin jauh mobil itu meninggalkan dirinya, entah mengapa matanya semakin panas. Untungnya, Mahesa menepuk pundaknya segera. Kalau tidak, maka dapat dipastikan si wisudawan dengan IPK tertinggi satu fakultas berlinang air mata di parkiran auditorium.

“Ayo pulang, hari ini pengumuman kan?”