Dari Mata Seorang Ibu

Sarah tidak lekas mandi setelah diantar Rega menuju kamarnya. Wajah sembabnya pun tak kunjung ia basuh. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bagaimana ia dapat menghubungi mantan suaminya segera.

“Gimana? Dapet nomernya?” sambut Sarah.

Dapet, bu. Katanya ini nomor paling barunya, semoga aja bisa dihubungi ya, bu.” seru seseorang di ujung telepon.

“Tolong kirimin ke saya ya, sekarang juga. Makasih, kamu boleh istirahat.”

Sarah menutup telepon dari asistennya, lalu memandang pantulan dirinya di cermin hotel. Wajahnya yang berkerut di beberapa bagian, ditambah maskara yang setengah luntur setelah menangis tadi, Sarah sadar ia tak lagi muda. Sarah sudah melalui banyak hal dengan banyak rasa.

Dua puluh lima tahun yang lalu cukup berat bagi Sarah. Belum sempurna kering jahitan pasca melahirkan, ia harus kembali berjuang seorang diri mengurus buah hatinya. Suaminya pergi tanpa pamit, meninggalkan dua perempuan yang saat itu kebingungan harus berbuat apa. Kala itu, dirinya berjanji akan menjadi Sarah yang seribu kali lebih baik dari hari itu demi berliannya, Almaya.

Terkadang, Ayah dan Ibu Sarah datang ke rumah untuk membantu menjaga Almaya. Namun, ada masanya orang tua Sarah tak lagi mampu bepergian karena usia. Sejak itu, Sarah memutuskan untuk menggunakan jasa Asisten Rumah Tangga untuk menjaga Almaya selagi dirinya bekerja. Hari-hari ia lalui dengan atau tanpa bertemu anak semata wayangnya. Karier benar-benar mendominasi hidup Sarah sejak hari itu, hingga tanpa ia sadari Almaya bukan lagi anak berumur tiga tahun yang masih menangis jika boneka kesayangannya tidak ada di tempat tidurnya.

Tersadar dari lamunannya, Sarah segera menyeka air mata di kedua pipinya. Lagi-lagi tangannya kini sibuk menekan layar gawainya hingga terdengar nada tunggu. Sarah menelfon seseorang.

Halo, ini siapa ya?

Suara itu.

“Haris, ini saya, Sarah.”

Sarah?

“Iya, Sarah Ratnadia. Atau kamu lupa?”

Saya ngga mungkin lupa, Sarah.” ujarnya diikuti gelak tawa kecil. “Sudah lama kamu ngga hubungin saya.

“Saya ngga punya waktu untuk bahas itu, Haris.”

Ah, iya. Sarah Ratnadia, wanita karier super mega sibuk yang masuk jajaran 10 orang berpengaruh di bid—

“Besok Almaya nikah.” potong Sarah.

Almaya?

Sarah berdecak, ia sama sekali tak heran. “Anak kamu, kalau kamu lupa.”

Menikah?

“Besok pagi. Jam 7 di Hotel Mulia. Almaya minta kamu jadi wali nikah.”

Tidak ada jawaban.

“Saya harap kamu bisa datang, Haris. Ini terakhir kali saya akan minta tolong, berharap dan memohon ke kamu. Tolong, demi Almaya.”

Hening.

“Saya pikir cukup kejadian itu menyakiti Almaya sepanjang hidupnya. Ini permintaan dia, saya mohon bantu saya penuhi permintaan Almaya.” rintih Sarah. “Anak itu masih dan akan selalu ingat ayahnya bahkan ketika ia menikah. Bahkan ketika ayahnya lupa siapa namanya.”

Haris benar-benar tidak menjawab.

“Saya tunggu kamu, Haris. Terima kasih.”

Sarah menutup sambungannya segera, lalu beralih menuliskan pesan pada seseorang yang lain.

Tasya, mayanya sudah tidur kah?


“Makasih ya Tasya udah nemenin Maya. Tasya boleh istirahat kok, gantian tante yang nemenin Maya.” ujar Sarah.

Tasya mengangguk. “Sama-sama tante, ini tanggung jawab Tasya juga buat jagain Maya. Tante juga jangan lupa istirahat ya. Duluan, tante.”

Dari sudut matanya, Sarah melihat Maya sudah meringkuk di ranjang. Sarah tertawa kecil, Maya benar-benar persis saat seperti masih bayi. Dibelainya rambut semata wayangnya itu, lekat-lekat ia pandangi wajahnya.

“Ya.. Geulis.. Kamu cepet banget gedenya, nak. Mama inget dulu Maya suka main sama boneka-boneka Maya karena Maya sendirian di rumah, Maya juga suka nyanyi-nyanyi di ayunan, kadang juga iseng manggilin tukang roti keliling, terus kamu beli bola-bola cokelatnya. Kayaknya baru kemarin mama ngelahirin kamu, eh, sekarang kamunya udah mau nikah, May. Cepet banget. Kalo bisa, mama teh mau balik lagi ngurusin Maya kecil.” gumam Sarah. Setengah menangis setengah tertawa.

“Nak, maafin mama ya. Maaf mama terlalu sibuk, sampe kadang ngga bisa nemenin Maya. Padahal harusnya Maya paling butuh ditemenin, ya kan? Maaf, nak.. Mama pingiiiiiin banget ngulang waktu, ngurusin Maya lagi, nemenin Maya, ngajarin Maya, liat tumbuh kembang Maya dengan detail. Mama tuh kayak ngga sadar, May, tiba-tiba kamu udah segede ini. Kamu udah jadi wanita cantik, pintar, berpendidikan, baik hati, kuat pula.

Maaf mama egois, nak. Mama sadar mama salah, mama melewatkan waktu-waktu terbaik mama, mama melewatkan waktu-waktu bertumbuh bersama anak mama satu-satunya, berlian mama, cinta hati mama, hidup mama. Mama kehilangan itu semua, nak. Hal yang ngga akan pernah dan mampu tergantikan oleh apa pun. Mama rela bayar berapapun jumlahnya kalau itu bisa mengulang waktu kita berdua, nak..

Jujur nak, berat sekali melepas kamu menikah. Tapi mama percaya, Hafidz lelaki baik yang bisa bikin anak mama bahagia, mama percaya Hafidz bisa jaga Maya lebih baik dari yang mama lakukan. Mama yakin Hafidz ngga akan bikin kamu merasakan apa yang mama rasakan dulu.

Maya, selamanya kamu akan jadi gadis kecil mama. Selamanya kamu akan jadi hidup mama, nak. Terima kasih sudah jadi anak mama, terima kasih kamu tidak pernah membenci mama, terima kasih sudah tumbuh jadi anak baik, terima kasih sudah memberi kesempatan untuk mama membesarkan seorang putri, mama beruntung sekali punya Maya di hidup mama. Terima kasih ya, sayang. Kelak kamu akan jadi ibu yang baik, ibu yang hebat, ibu yang pintar, ibu yang dicintai anak-anaknya, ya nak.”

Sarah menyeka pilu yang berjatuhan dengan lega, seperti tak ada lagi yang mengganjal di sudut hatinya. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan di sunyinya malam, hanya berdua dengan gadis kecilnya.

Sarah boleh gagal, namun tidak bagi permatanya.

Sarah boleh tak punya apa-apa, namun dunia dan seisinya bagi gadis kecilnya.

Sarah boleh menangis, namun tak lagi bagi buah hatinya.

Cukup. Almaya harus bahagia sebagaimana mestinya.